Riri Satria
KATEGORI
  • Dokumen
  • Terkini
  • Teknologi & Transformasi Digital
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Sastra (Puisi dan Esai)
  • Apa Kata Media?
  • Apa Kata Sahabat?
  • Riri Satria Ungkap 10 Tantangan Dunia Perpuisian & Kepenyairan di Era AI

    16 Sep 2025 | Dilihat: 54 kali

    Riri Satria Ungkap 10 Tantangan Dunia Perpuisian & Kepenyairan di Era AI (Foto: Akhmad Sekhu)

    HALLO.ID - AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan atau akal imitasi adalah kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah.

    AI kini masuk berbagai lini kehidupan, termasuk juga puisi.

    Lalu, bagaimana masa depan dunia perpuisian di tengah derasnya arus AI? Apakah penyair akan tetap menjadi penafsir zaman, atau tergantikan oleh algoritma? Atau, mungkinkah justru lahir sebuah era baru: ketika manusia dan mesin bersama-sama menulis puisi sebagai jejak peradaban?

    Begitu banyak pertanyaan seputar puisi dan AI. Untuk itu, Riri Satria, pakar transformasi digital, menyampaikan kuliah umum bertajuk “10 Tantangan Dunia Perpuisian dan Kepenyairan di Era AI” dalam acara Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII 2025, di Ruang Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Medan Merdeka Selatan No.11, Gambir, Jakarta Pusat, Sabtu (13/9/2025) siang.

    Di hadapan ratusan penyair Indonesia se-Asia Tenggara, baik penyair dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Timur Leste, Thailand, Filipina, Vietnam dan lainnya, Riri Satria menyampaikan pandangannya tentang AI yang tak sekadar alat, tapi sudah menjadi rekan kreatif baru yang menuntut kita memikirkan ulang hakikat puisi.

    Riri mengungkapkan sepuluh tantangan besar yang akan menentukan apakah perpuisian tetap menjadi wilayah kemanusiaan, atau justru melebur dengan algoritma. Ia membuka diskusinya dengan pertanyaan mendasar: apakah dunia puisi siap menerima konsep meta estetika?

    Dalam pandangan itu, Riri memaparkan, bahwa penyair tak lagi sekadar bermain dengan konstruksi bahasa, melainkan menekankan makna filosofis.

    AI, dengan kekuatan analisis semantiknya, mampu menyusun puisi yang berlapis simbol, tetapi apakah itu cukup menggantikan sentuhan batin manusia?

    “Jika bahasa hanya wadah, lalu diisi algoritma, di manakah ruang batin penyair?” tanya Riri menggiring hadirin merenung lebih dalam.

    Di era generatif, puisi bukan lagi sekadar karya seni, melainkan bisa dipandang sebagai produk engineering.

    Seperti halnya arsitektur yang memadukan seni dan teknik, AI dapat menghasilkan puisi lewat rumus dan logika.

    “Apakah kita siap menerima puisi sebagai hasil art-neering, kolaborasi seni dan rekayasa teknologi?” Riri menungkik dalam pertanyaan.

    Ini pertanyaan yang memantik pro-kontra: apakah puisi buatan mesin hanya simulasi rasa, atau sebuah bentuk baru kreativitas?

    Di masa depan, puisi tak lagi berhenti pada teks. Bentuk multimedia—puisi dengan suara, gambar, musik, bahkan realitas virtual—akan semakin populer.

    Generasi muda mungkin lebih akrab dengan puisi yang bisa “dilihat dan didengar” ketimbang dibaca.

    “Jika puisi menjadi audiovisual interaktif, apakah kita masih bisa menyebutnya puisi, atau ia sudah berevolusi menjadi karya seni lintas medium?” kata Riri.

    Fenomena hypertext dan hypermedia memungkinkan puisi terhubung dengan teks lain, bahkan lintas bahasa dan budaya, dalam jejaring global.

    Bayangkan satu bait puisi yang jika diklik, langsung menghubungkan pembaca pada ribuan tafsir lain di dunia maya.

    “Universal chain of poetry bukan khayalan. Dunia akan menyambutnya. Pertanyaannya, apakah penyair siap?” ungkap Riri.

    Lebih lanjut, Riri mengatakan, jika AI bisa menulis puisi, siapa yang menjamin kualitasnya?

    Riri menegaskan pentingnya peran kurator. Bukan hanya soal estetika, tetapi juga otentisitas. AI detector mungkin akan menjadi senjata kurator, layaknya kritikus modern.

    “Penyair harus siap karyanya disaring, bahkan diperdebatkan keasliannya. Kita memasuki era ketika kurasi menjadi semakin krusial,” jelasnya.

    Dalam dunia digital, hak cipta puisi semakin rapuh. Riri menekankan potensi Non-Fungible Token (NFT) sebagai sertifikat kepemilikan karya sastra. Puisi bisa dijual, dilelang, bahkan diwariskan secara digital. “Apakah penyair siap mengadopsi teknologi blockchain untuk melindungi karyanya?” tanyanya.

    Ini membuka peluang baru, sekaligus tantangan hukum dan etika.

    AI menurut Riri mampu regenerate puisi siapa pun, dari Chairil Anwar hingga Sutardji, hanya dengan data pelatihan yang cukup. Namun, hal ini mengundang masalah serius: hak cipta dan otentisitas.

    “Bayangkan puisi dengan gaya khas Sapardi, tetapi ditulis AI. Apakah itu penghormatan atau pelanggaran?” tanya Riri.

    Riri juga menyinggung soal licentia poetica, yang merupakan salah satu hak istimewa penyair untuk bebas melanggar aturan bahasa demi estetika. Kini, AI pun bisa melakukannya. Pertanyaannya, apakah kebebasan itu sah jika dilakukan oleh mesin?

    “Lisensi puitika tidak hanya soal bahasa, tetapi soal keberanian menyuarakan jiwa. Bisakah mesin punya jiwa?” Riri melemparkan dilema yang mengguncang batas seni dan teknologi.

    Dipaparkannya lagi, AI memungkinkan puisi menyebar dalam hitungan detik ke seluruh dunia. Diskusi tentang sebuah puisi bisa berlangsung real-time lintas benua. Namun, kecepatan ini menimbulkan pertanyaan tentang mutu.

    “Jika semua orang bisa menulis puisi dalam satu klik, apakah kualitas akan tenggelam dalam banjir teks?” Riri memperingatkan.

    Dia menambahkan, tantangan terbesar justru pada sisi kemanusiaan. Riri menutup dengan kalimat reflektif: “High tech harus diimbangi high touch. Teknologi boleh maju, tapi puisi adalah penjaga peradaban.”

    Bagi seorang Riri Satria, matematika, algoritma, dan program komputer sejatinya serupa dengan puisi: sama-sama menyederhanakan kompleksitas menjadi simbol. Namun, hanya manusia yang bisa memberi makna dari simbol-simbol itu.

    Sejarah AI

    Untuk menguatkan pandangannya, Riri Satria mendedah sejarah AI. Dari tahun 1958 ketika komputer pertama kali diajar bermain catur di mainframe IBM 704, hingga 1997 saat Deep Blue mengalahkan Garry Kasparov.

    “Dulu pecatur dunia menertawakan ide komputer bisa mengalahkan manusia. Hari ini kita menertawakan ide mesin menulis puisi. Tapi sejarah bisa berulang,” ujarnya.

    AI memang tidak memiliki rasa. Ia hanya belajar lewat pola, algoritma, dan feedback. Namun, pola-pola itu bisa menghasilkan puisi.

    Bahkan, OpenAI pernah meluncurkan buku I Am Code, kumpulan puisi yang ditulis mesin Code-davinci-002 sebagai semacam “otobiografi puitis”.

    Apakah itu puisi sejati atau hanya simulasi? Dunia sastra mungkin tak pernah sepakat.

    Di akhir kuliahnya, Riri tidak mengajak penyair menolak AI, melainkan berdialog dengannya.

    Baginya, masa depan kreativitas justru terletak pada sinergi: manusia memberi deskripsi (promting), mesin mengolah (generating), lalu manusia memberi sentuhan akhir (finalizing).

    “Kreativitas masa depan adalah gabungan critical thinking, design thinking, penguasaan teori, kekuatan imajinasi, dan dukungan AI,” tuturnya.

     

    Sepuluh tantangan yang dipaparkan Riri Satria bukan sekadar daftar prediksi, melainkan peta jalan yang harus dihadapi penyair, dari meta estetika hingga NFT, dari lisensi puitika hingga kemanusiaan.

    AI mungkin bisa menulis seribu puisi dalam beberapa kali klik, tetapi hanya manusia yang bisa menulis puisi dengan hati nurani dan penuh perasaan. Di era AI sekarang ini, manusia ditantang kembali untuk menulis puisi dengan lebih jujur, lebih jernih, lebih manusiawi.

     

    Sumber : HALLO.ID

    Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusatraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), serta “Metaverse” (2022), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023). Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), serta Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025). Sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024  s/d September 2025, sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia. Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

    Konten Populer

    • Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]

      Jul 02, 2025
    • Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]

      Apr 13, 2024
    • Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering.   Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]

      May 27, 2024
    •   oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]

      May 20, 2024
    • Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]

      Nov 14, 2021
    • DOWNLOAD DOKUMEN

      May 17, 2025
    • Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]

      Jun 06, 2021
    • Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya. “Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait […]

      May 03, 2024

    DIRGAHAYU JAGAT SASTRA MILENIA (JSM) 10 Oktober 2020 - 2025

    POJOK PODCAST

    KULBIZ SESI 1.3
    By BigThinkersID Host Pinpin Bhaktiar
    Kulbiz adalah tentang kuliah ilmu bisnis secara komprehensif, relevan dan asik 😁🥳🚀🔥
    video
    play-sharp-fill

    Podcast Selengkapnya klik disini...

    RECENT EVENT


    NEXT EVENT

    Hide picture