Riri Satria Lecturer - Researcher - Poetry & Coffee Lover
oleh Yon Bayu Wahyono | 15, Sep, 2025
PojokTIM – Kemunculan teknologi baru, akan menimbulkan kegamangan (anxiety) dari generasi yang merasa sudah bukan zamannya. Ada perasaan takut tersingkir. Kemunculan internet kurang lebih sama dengan televisi di mana dulu sempat diharamkan karena dianggap menjauhkan anak-anak dari masjid. Penyebabnya, sore hari disiarkan film kartun Scooby Doo yang bertepatan dengan jam anak-anak mengaji di masjid.
“Namun seiring berjalannya waktu, tatanan baru akan terbentuk, dan hal-hal baru menjadi sesuatu yang biasa. Televisi yang awalnya membuat orang lupa waktu, lama-kelamaan ditinggalkan. Demikian juga dengan internet. Awalnya membuat orang ketagihan, namun pada akhirnya akan membosankan,” ujar pakar teknologi digital Riri Satria saat memberi kuliah umum di aula Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang dihadiri peserta Pertemuan Penyair Nusantara ke-XIII (PPN XIII), Sabtu (13/9/2025). Hadir juga Sekretaris Urama Perpusnas RI Joko Santoso, Ketua Panitia PPN XIII Ahmadun Yosi Herfanda, Pengarah PPN XIII yang juga anggota Dewan Kesenian Jakarta Imam Ma’arif, Wakil Ketua Panitia PPN XIII Mustafa Ismail, serta para pustakawan.
Riri Satria mengawali paparan makalahnya berjudul “10 Tantangan Dunia Perpuisian dan Kepenyairan di Era Kecerdasan Buatan (AI)” dengan kisah legendaris. Tahun 1997, dunia terperangah ketika superkomputer IBM Deep Blue menaklukkan juara dunia catur, Gary Kasparov. Peristiwa itu bukan sekadar kemenangan mesin atas manusia, tetapi penanda bahwa kecerdasan buatan telah mencapai titik penting.
“Komputer butuh 39 tahun sejak pertama kali belajar main catur sampai akhirnya sanggup mengalahkan manusia setingkat juara dunia,” ujarnya tenang. Pertanyaan Riri kemudian mengalir: jika catur saja bisa ditaklukkan mesin, berapa lama waktu yang dibutuhkan komputer untuk menulis puisi yang dapat menandingi penyair dunia? Pertanyaan itu menggema di ruangan, memunculkan renungan mendalam.
Kisah berlanjut ke tahun 2016, ketika aplikasi daring sederhana seperti poemgenerator.org.uk muncul. Mesin-mesin itu bisa menyusun bait dengan sekali klik. Awalnya kaku, seperti puisi yang ditulis murid pemula. Namun seiring perkembangan machine learning hingga deep learning, puisinya semakin halus, puitis, bahkan mengejutkan. Puncaknya, tahun 2020, lembaga riset OpenAI menerbitkan puisi bergaya Emily Dickinson yang dibuat GPT-2. Dari sinilah, ChatGPT lahir. Riri menyebut fenomena ini sebagai wujud nyata generative AI. Mesin belajar dari ribuan karya, lalu meniru pola dan gaya.
“Jadi walaupun komputer ini melakukan ‘kreativitas’, namun itu adalah kreativitas algoritmik, bukan kreativitas yang sebenarnya,” tegasnya.
Dosen Universitas Indonesia itu menjelaskan bahwa puisi manusia lahir melalui empat tahap: observasi, kontemplasi, penyaringan emosi, dan komposisi. Semua melibatkan batin. Sebaliknya, komputer menjalankan keempatnya secara matematis. Ia pernah menguji sekelompok kurator sastra dengan sejumlah puisi—sebagian ditulis manusia, sebagian dibuat mesin. Hasilnya, tak mudah dibedakan. Tetapi, menurutnya, tetap ada celah. Mesin hanya menyusun bahasa, kosa kata, dan sintaks, tanpa menyentuh realitas dan imajinasi manusia.
“Puisi bukan sekadar konstruksi bahasa, melainkan memberi ruh kepada bahasa tersebut melalui realitas dan imajinasi,” ujarnya. Di sinilah, kata Riri, mesin masih tertinggal. Ruh, rasa, dan keajaiban batiniah tetaplah milik manusia.
Riri lantas menyinggung perkembangan mutakhir: mesin Code-davinci-002 yang menulis autobiografinya sendiri dalam bentuk puisi. Buku itu diberi judul “I am Code: Poetical Autobiography by Code-davinci-002”. Meski ditopang tiga editor manusia, esensi eksperimen itu membuat bulu kuduk merinding. Mesin bukan lagi hanya meniru, tetapi mencoba bersuara tentang dirinya. Fenomena ini, menurut Riri, memperlihatkan lompatan besar: mesin bisa “bercerita” tentang pengalaman, walau tetap dalam koridor algoritma.
Namun, apakah ini berarti penyair harus menyerah? Justru sebaliknya. Riri menegaskan bahwa manusia memiliki HOTS (High Order Thinking Skills)—menganalisis, mengevaluasi, mencipta—yang tak mungkin sepenuhnya direplikasi mesin. “Human intelligence is above artificial intelligence,” ujar komisaris pada salah satu BUMN itu
Di sinilah kunci keberlangsungan puisi. Penyair, katanya, harus berani membuka ruang kreativitas baru, melampaui apa yang bisa dikerjakan algoritma. Tantangannya bukan hanya teknis, tetapi juga filosofis dan etis: apakah puisi buatan mesin pantas disebut puisi? Apakah etis seorang penyair mengandalkan mesin untuk berkarya? Pertanyaan-pertanyaan itu kini menggantung di dunia sastra.
Riri mengutip John Naisbitt dalam High Tech, High Touch. Teknologi tak bisa dibendung, tetapi harus diimbangi sentuhan kemanusiaan. Pandangan ini senada dengan Chris Skinner dalam Digital Human yang menyebut bahwa nilai dasar manusia tak hilang, hanya bentuk teknisnya yang berubah. Gotong royong, misalnya, dulu dilakukan di balai desa, kini melalui crowdfunding. Esensi kebersamaan tetap sama, hanya medianya berbeda. Di sinilah seni dan sastra perlu berdiri: menjaga nilai manusia di tengah badai digital.
Riri mengingatkan satu hal penting di era digital. Dalam hitungan menit, karya sastra bisa menyebar ke seluruh dunia. Namun dampaknya bisa dua arah. “Kita bisa membuat dunia tercengang karena betapa hebatnya kita saat memposting ‘berlian’, atau dunia juga bisa tercengang melihat betapa bodohnya kita saat memposting ‘sampah’,” ujarnya disambut tawa getir para peserta. Bagi Riri, media sosial hanyalah medium. Kualitas tetaplah penentu. Puisi yang dangkal hanya akan mempermalukan penulisnya, sementara puisi yang bernas bisa mengangkat martabat sastra hingga taraf Nobel.
Riri menutup kuliahnya dengan pernyataan penuh keyakinan. Puisi, katanya, bukanlah permainan kata semata. Ia bisa mengguncang peradaban, sebagaimana penghargaan Nobel Sastra menempatkannya sejajar dengan sumbangsih di bidang fisika, kedokteran, atau perdamaian dunia. Ia menegaskan kembali, “Mesinlah yang nanti akan belajar kepada para penyair, bukan sebaliknya.” Kalimat itu seolah menjadi mantra perlawanan: penyair tetaplah guru, mesin hanyalah murid.
Para peserta pun bertepuk tangan panjang. Di ruangan itu, para penyair menemukan semangat baru: bukan untuk melawan teknologi, melainkan untuk berdiri sejajar, menjaga ruh puisi agar tetap menjadi suara manusia yang paling dalam.
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusatraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), serta “Metaverse” (2022), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023). Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), serta Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025). Sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025, sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia. Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]
Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering. Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]
oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]
Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]
Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]
Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya. “Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait […]