Riri Satria Lecturer - Researcher - Poetry & Coffee Lover
Oleh: Ikhsan Risfandi IRZI
Ada saat-saat dalam hidup ketika angka-angka terasa terlalu dingin, dan logika, betapa pun akuratnya, tidak cukup menjawab rasa yang mengendap di dalam dada. Di momen-momen itulah, saya memahami mengapa seseorang yang bekerja di dunia strategi, teknologi, dan ekonomi seperti Uda Riri Satria justru mencari ruang teduh melalui puisi. Bukan karena puisi lebih ringan, atau karena ia pelarian dari dunia rasional. Tapi karena justru dalam puisi, ada dimensi yang tak ditemukan dalam hitungan dan grafik: keheningan yang jernih, pertanyaan yang tidak perlu tergesa dijawab, dan makna yang dirawat dengan sabar.
Dalam tulisannya yang menyambut Hari Puisi Indonesia, Uda Riri berbagi dengan jujur dan rendah hati bahwa puisi adalah cara dirinya menjaga keseimbangan. Ketika hidup sehari-hari diisi dengan rumus, riset, dan analisis, maka puisi hadir sebagai ruang batin yang memberi napas. Ia menyebut bahwa puisi adalah cara lain memahami semesta—dan saya sepakat. Karena betapapun canggihnya teknologi yang kita bangun, ada hal-hal yang hanya bisa dijangkau lewat imajinasi dan kepekaan rasa.
Ia mengingatkan kita pada sebuah kutipan dari Mary Ridgley: bahwa seperti sains, puisi pun adalah cara manusia memahami alam semesta. Bedanya, sains mengurai fakta yang bisa dilihat, didengar, dan diukur, sementara puisi menangkap yang tak kasatmata. Itulah mengapa puisi tak bisa digantikan oleh chatbot atau mesin pencari. Karena puisi bukan hanya soal makna, tapi juga tentang cara kita mengendapkan dan merasakan. Ketika penyair menulis tentang hujan, ia tak sedang menjelaskan curah atau suhu udara, tapi mungkin sedang menyampaikan rindu, kehilangan, atau harapan yang diam-diam tumbuh.
Lebih menarik lagi, Uda Riri tidak melihat puisi sebagai sesuatu yang mengawang. Ia menekankan bahwa menulis puisi pun perlu nalar. Ada observasi, ada intuisi, bahkan mungkin ada riset. Saya terkesan oleh pandangannya bahwa puisi bukan khayalan sembarangan, melainkan bagian dari kerja intelektual. Inilah yang menurut saya membedakan antara puisi yang sekadar cantik, dan puisi yang punya makna yang tinggal lama di benak pembacanya. Ia tidak menyederhanakan proses kreatif, justru memuliakannya dengan menyandingkannya sejajar dengan kerja-kerja ilmiah.
Ketika kita membaca pandangannya tentang puisi di tengah Revolusi Industri 5.0 dan dunia yang semakin kompleks, kita diingatkan kembali bahwa kemajuan bukan hanya perkara mesin atau kecerdasan buatan. Kita tetap butuh ruang untuk menjaga hati. Dan puisi adalah salah satu bentuk penjagaan itu. Ia mungkin tidak mendongkrak GDP, tapi ia menjaga agar manusia tetap manusia. Dalam kondisi dunia yang makin gaduh dan cepat berubah, puisi mengajak kita untuk memperlambat, mendengar ulang, dan mungkin, memaafkan diri sendiri.
Yang paling saya hargai dari tulisan Uda Riri adalah kesadarannya untuk tidak menempatkan puisi sebagai panggung, tapi sebagai tempat pulang. Ia tidak menulis puisi untuk menjadi penyair besar. Ia menulis karena ia butuh. Dan dari kebutuhan itu, lahirlah karya yang jujur dan tulus. Sebuah pengingat bahwa puisi bukan tentang siapa yang paling indah berkata-kata, tapi siapa yang paling tulus mendengarkan.
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusatraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), serta “Metaverse” (2022), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023). Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), serta Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025). Sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025, sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia. Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]
Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering. Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]
oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]
Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]
Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]
Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya. “Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait […]