Riri Satria
KATEGORI
  • Dokumen
  • Terkini
  • Teknologi & Transformasi Digital
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Sastra (Puisi dan Esai)
  • Apa Kata Media?
  • Apa Kata Sahabat?
  • Emi Suy : “SUJUD YANG TAK USAI: Pulang yang Tak Lagi Sama”

    25 Jun 2025 | Dilihat: 62 kali

    SUJUD YANG TAK USAI: Pulang yang Tak Lagi Sama
    Oleh: Emi Suy

     

    Ada perjalanan yang panjang bukan karena jauhnya jarak, melainkan karena dalamnya perjumpaan. Haji adalah salah satunya. Ia bukan sekadar ibadah fisik yang menuntut kesiapan tubuh dan ongkos, tetapi ziarah ruhani yang menuntut keterlucutan ego, keikhlasan niat, dan keberanian untuk berubah. Maka ketika seseorang pulang dari Tanah Suci, pertanyaan terbesarnya bukan “apa yang kau bawa?”, tetapi “apa yang telah ditinggalkan di sana?”

     

    Apakah engkau meninggalkan keangkuhan di Arafah? Membakar kesombongan di Mina? Mencuci luka batin di Multazam? Ataukah engkau hanya melintasi tempat-tempat suci tanpa membiarkan dirimu benar-benar disucikan?

     

    Bang Riri Satria, dalam puisi-puisi kontemplatifnya yang ditulis di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, menjawab pertanyaan itu bukan dengan argumen, tapi dengan ketundukan. Puisinya adalah ziarah yang dituliskan--bukan untuk dikagumi, tapi direnungkan. Dalam puisi “Kembali Aku Dengar Azan Subuh di Masjid Nabawi”, suara azan bukan sekadar panggilan ibadah, melainkan gema semesta yang menyeru manusia untuk menyadari kecilnya diri di hadapan keagungan Tuhan.

     

    "Aku semakin terasa kecil / lalu aku tenggelam / dalam pusaran air / keagungan-Mu"

    --baris ini mengandung puncak perenungan. Sebuah kesadaran eksistensial yang tidak ditemukan di tengah ramai, melainkan dalam sujud dan sunyi. Dalam pertanyaan terakhir puisinya “Akankah kecilnya aku / berarti pada kebesaran-Mu?”, kita menangkap kegelisahan yang indah--bahwa makna hidup bukan diukur dari besar kecilnya peran, tetapi dari sejauh mana manusia bisa merasa cukup kecil untuk dibimbing.

     

    Dalam puisi-puisi seperti “Munajat”, “Tawaf”, dan “Tundukku, Tafakurku”, Bang Riri tidak sedang mendokumentasikan ibadahnya, melainkan membiarkan puisinya menjadi ibadah itu sendiri. Ia menulis dari dalam kesunyian--bukan sekadar mengulang laku, tapi menggali maknanya. Puisi “Tawaf” tidak hanya mengitari Ka’bah, tapi mengitari makna.

     

    “Puisiku / mengitarimu / mengalir / menembus Sang Waktu”

    --di sini puisi bukan sekadar bentuk, tapi gerakan jiwa yang melingkar, meluruh, dan akhirnya menyatu.

     

    Yang menarik, Bang Riri tidak menggambarkan dirinya sebagai yang paling saleh. Ia hadir sebagai orang yang sedang berjalan. Ia tidak mengumumkan kesalehan, tetapi merekam perubahan. Sebagaimana seseorang yang benar-benar mengalami haji, ia tak memerlukan gelar “haji” untuk memperlihatkan perubahannya.

     

    Saya jadi teringat seorang tetangga, Bu Tuminah. Setelah berhaji, ia tak pernah dipanggil “Bu Haji”, dan ia pun tak menginginkannya. Tapi setiap pagi ia menyapu halaman masjid, menyiapkan air wudhu, mengantarkan bubur ke rumah janda-janda tua. Ketika ditanya kenapa kini lebih rajin, ia hanya berkata lirih, “Hati saya malu kalau tidak berbuat baik. Saya sudah dijamu Tuhan, masak saya pulang tanpa menjamu manusia?”

     

    Barangkali di situlah letak makna mabrur dan mabruroh yang sejati--tak bersuara keras, tapi mengubah pelan-pelan. Tak berkilau dari luar, tapi menyala dalam diam. Mabrur bukan gelar untuk dibanggakan, melainkan keadaan hati yang telah disentuh langit.

     

    Namun haji mabrur bukan hanya tentang apa yang dilakukan, melainkan juga tentang apa yang tidak boleh dilakukan lagi.

     

    Seorang yang mabrur tak boleh lagi memfitnah, menggunjing, dan mencaci. Lidahnya harus menjadi penjaga kedamaian, bukan penyebar luka. Ia tak boleh memanfaatkan gelar hajinya untuk gengsi atau panggung sosial. Karena ibadah bukan pangkat, dan gelar tidak mengubah kadar takwa seseorang.

     

    Ia tak boleh lagi menindas yang lemah, menyakiti yang miskin, atau berlaku curang dalam transaksi. Karena haji adalah janji. Dan janji itu akan diuji dalam kehidupan sehari-hari--bukan di depan Ka’bah, tapi di rumah, di pasar, di tempat kerja.

     

    Haji mabrur melarang manusia untuk kembali menjadi keras kepala dalam debat, kasar dalam bicara, dan kikir dalam berbagi. Karena siapa yang telah bersujud bersama ribuan jiwa lain, tahu bahwa yang paling tinggi adalah mereka yang paling mampu merendah.

     

    Bang Riri Satria melalui puisinya seolah menjawab satu hal penting: bahwa perjalanan spiritual bukan tentang pencapaian, tapi tentang keterbukaan untuk diubah. Dalam puisi-puisinya, ia tidak menyampaikan khutbah, tapi membuka ruang tafakur. Ia tidak menjelaskan tentang surga, tapi menyingkapkan taman-taman ruhani yang hanya bisa dilihat dengan mata hati.

     

    Puisi-puisi ini menyentuh bukan karena bahasa agamanya, tapi karena keikhlasannya. Ia tidak mendikte kebenaran, tapi membiarkan gema kebaikan merambat dari satu bait ke bait lain. Di tengah dunia yang sibuk memamerkan ibadah, Bang Riri memilih jalan yang sunyi: menulis puisi sebagai sujud.

     

    Dan ketika pulang, tidak semua pulang adalah kembali. Sebab yang pulang dari haji sejatinya bukan hanya tubuh, melainkan jiwa yang telah disentuh dan diluruhkan. Tidak lagi sama caranya memandang rezeki, memaknai keberhasilan, bahkan menanggapi luka. Ada semacam kelembutan baru yang tumbuh--yang tidak dibuat-buat, tidak diumumkan, tapi terasa dari cara seseorang berbicara, diam, dan memberi.

     

    Maka, jika ada yang bertanya apakah hajimu mabrur, lihatlah caramu berjalan pulang.
    Apakah langkahmu lebih pelan, karena kini engkau sadar: dunia tidak perlu dikejar terburu-buru?
    Apakah matamu lebih tenang, karena kau telah menatap Ka’bah dan belajar bahwa pusat semesta bukan egomu?
    Apakah hatimu lebih teduh, karena telah diajari langit untuk menerima apa pun yang datang, dan melepas apa pun yang pergi?

     

    Haji bukan hanya tentang apa yang ditinggalkan di Tanah Suci, tapi tentang apa yang tak lagi kita bawa pulang--amarah, dengki, riya, dan keterikatan yang membelenggu. Sebab ibadah sejati bukan menambah beban rohani, melainkan membebaskannya.

     

    Kini, ketika gema takbir merambat dari Masjid Nabawi hingga sudut hatimu sendiri, biarlah gema itu menjadi azan batin yang tak henti membangunkan nurani.

    Bukan untuk mengingatkan waktu shalat semata, tetapi untuk menyadarkan kita--bahwa yang paling suci bukan tempat yang didatangi, melainkan hati yang telah bersedia berubah.

     

    Dan barangkali, di situlah arti dari sujud yang tak usai--
    sujud yang terus tumbuh menjadi amal,
    sujud yang diam-diam mengubah hidup,
    sujud yang menjadikan setiap langkah pulang sebagai jalan kembali kepada-Nya.

     

    Epilog

    Tidak semua pulang berarti kembali.
    Ada jiwa yang tertinggal di tanah suci--
    menyerap debu Arafah,
    menyatu dengan langit Muzdalifah,
    diam-diam tinggal di pelataran Ka'bah
    tanpa ingin pulang.

    Mabrur bukan gelar yang diumumkan--
    ia hidup dalam cara seseorang bersikap
    setelah sujud terakhirnya tak lagi disaksikan orang.
    Lidahnya lebih terjaga--
    tangannya lebih ringan memberi--
    dan hatinya lebih tabah memaafkan
    tanpa perlu disebut ibadah.

    Jika setelah haji kau jadi lebih pelan,
    lebih lapang,
    dan lebih sunyi dalam mencintai manusia--
    maka mungkin,
    kau tak sekadar pulang.
    Kau sedang menuju-Nya
    dengan cara yang tak lagi keras
    dan tak lagi perlu disaksikan siapa-siapa.

    Jakarta -- Juni 2025
    Emi Suy

    Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan RI bidang Digital, Siber dan Ekonomi | Pakar Teknologi Digital | Pengamat Ekonomi Digital | Komisaris Utama Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS)/Pelindo Solusi Digital (PSD) | Founder dan CEO Value Alignment Advisory (VA2) | Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia | Pendiri Jagat Sastra Milenia & SastraMedia.com | Penyair & Penulis | Pencinta Kopi

    Konten Populer

    • Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering.   Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]

      May 27, 2024
    • Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]

      Apr 13, 2024
    •   oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]

      May 20, 2024
    • Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]

      Nov 14, 2021
    • Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]

      Jun 06, 2021
    • DOWNLOAD DOKUMEN

      May 17, 2025
    • Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya. “Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait […]

      May 03, 2024
    • Komunitas Jagat Sastra Milenia pada tanggal 10 Oktober 2024 mendatang merayakan Hari Ulang Tahun ke-4. Menyambut hari jadinya itu, Komunitas JSM mengundang penyair-penyair Indonesia mengirim puisi dan karya akan dibukukan. Ketua Komunitas JSM Riri Satria kepada majalahelipsis.com mengatakan, topik antologi puisi itu adalah “Dunia dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) dalam Puisi.” “Tahun 1980, Lembaga Studi Pembangunan […]

      May 03, 2024

    POJOK PODCAST

    KULBIZ SESI 1.3
    By BigThinkersID Host Pinpin Bhaktiar
    Kulbiz adalah tentang kuliah ilmu bisnis secara komprehensif, relevan dan asik 😁🥳🚀🔥
    video
    play-sharp-fill

    Podcast Selengkapnya klik disini...

    RECENT EVENT

    Buku Terbaru Riri Satria

    LOG IN HARAMAIN "Jejak Perjalanan Ibadah Haji"

    Hide picture