Membaca Diri Melalui Mata Riri Satria

Oleh: Emi Suy

Membaca esai Riri Satria tentang saya terasa seperti bercermin di air yang bening. Di sana saya melihat wajah saya, tetapi juga kedalaman yang sering kali tak sanggup saya tatap sendiri. Riri menuliskan perjalanan kepenyairan saya dengan runtut—dari Tirakat Padam Api hingga gagasan Perempuan Mesti Bisa Menjahit, Setidaknya Menjahit Lukanya Sendiri. Dari balik uraiannya, saya menemukan diri saya sedang dibaca dengan cara lain: lebih objektif, lebih terang, lebih jernih daripada yang biasa saya lakukan terhadap diri saya sendiri.

Ia menyebut buku pertama saya sebagai semangat awal seorang penyair muda. Saya teringat betapa “tirakat” memang jalan sunyi saya sejak mula: menulis bukan sekadar hobi, melainkan laku hidup. Puisi hadir sebagai cara untuk memadamkan api di dada yang kerap membakar tanpa henti. Kini ketika menoleh ke belakang, saya tahu: api itu tidak benar-benar padam, ia justru berubah menjadi cahaya kecil yang menuntun langkah saya.

Riri juga menuliskan dengan puitis tentang trilogi sunyi saya: Alarm Sunyi, Ayat Sunyi, dan Api Sunyi. Baginya, alarm adalah paradoks dari sunyi, ayat adalah doa lirih, dan api adalah energi dalam keheningan. Saya membaca catatan itu dengan getar. Ya, benar—saya memang selalu kembali pada kata “sunyi”. Bagi saya, sunyi bukan sekadar kesepian, melainkan ruang batin, ruang doa, ruang ziarah diri. Di dalam sunyi itulah saya belajar mengenali diri, bahkan mengenali Tuhan.

Ketika ia menyinggung Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami, dada saya terasa hangat. Buku itu memang persembahan paling intim: tentang ibu, dapur, dan perjalanan usia. Ketika Riri menyebutnya personal, saya tahu ia membaca tepat ke jantung saya. Sebab menulis tentang ibu sama dengan menulis tentang kehidupan itu sendiri—sederhana, penuh kerja keras, penuh kasih, dan diam-diam meneguhkan ketabahan.

Saya juga teringat pada keraguan saya ketika menulis Interval. Bisakah saya menulis esai? Bisakah saya berpindah dari puisi yang lirih ke tulisan yang argumentatif? Riri menyebutnya keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Membaca itu, saya merasa lega. Ya, mungkin benar: menulis bukan soal merasa siap, tapi soal berani melangkah. Interval adalah jejak kecil saya untuk belajar berbicara dengan cara lain.

Kolaborasi saya dengan Riri dalam Algoritma Kesunyian adalah bukti bahwa puisi bisa dibaca sebagai pola. Saya sendiri tidak pernah menyadari betapa doa, luka, cinta, dan sunyi begitu berulang dalam karya-karya saya. Dialah yang memberi nama “algoritma”. Dari situ saya mengerti, setiap penyair tanpa sadar sedang menuliskan pola batinnya sendiri—sebuah peta jiwa yang bisa dibaca oleh orang lain.

Judul Perempuan Mesti Bisa Menjahit, Setidaknya Menjahit Lukanya Sendiri lahir dari pengalaman panjang saya sebagai perempuan yang berkali-kali harus merapikan robekan hidup. Riri menyebutnya provokatif—dan saya setuju. Menjahit di sini bukan sekadar kerja teknis, melainkan kerja spiritual. Luka memang tidak bisa dihapus, tetapi bisa dijahit. Dan dalam setiap jahitan, saya menemukan makna baru: menjadi perempuan berarti belajar merawat, meski sering kali merawat diri sendiri yang paling terluka.

Riri juga melihat “sunyi” sebagai tema besar saya. Baginya, sunyi adalah silence, bukan loneliness. Saya terharu membacanya. Sebab begitulah saya menghidupi sunyi: bukan ruang kosong, tapi ruang penuh doa. Dalam sunyi saya menemukan bahasa yang paling jujur, suara yang paling lirih, dan cahaya yang paling tulus. Sunyi adalah rumah saya.

Esai Riri ditutup dengan puisi kolaborasi kami, Kontemplasi. Saat saya membaca kembali bait-baitnya, saya merasa ia merangkum seluruh perjalanan saya: doa, sunyi, api, luka, dan cinta. Begitulah saya menulis, begitulah saya hidup.

Membaca tulisan Riri tentang saya membuat saya sadar: seorang penyair mungkin menulis untuk dirinya, tetapi karyanya selalu akan dibaca orang lain dengan cara mereka sendiri. Dan justru dari pembacaan itulah saya belajar membaca diri saya kembali. Puisi-puisi saya ternyata bukan hanya kisah saya, melainkan juga kisah siapa pun yang pernah singgah dalam sunyi, menyimpan luka, atau mencari cahaya. Riri Satria telah menunjukkan kepada saya bahwa menulis adalah membuka ruang bersama—ruang di mana saya dan pembaca bisa saling menemukan diri.

Saya merasa beruntung karena ada yang menuliskan perjalanan saya dengan penuh perhatian seperti Riri Satria. Membaca dirinya membaca saya membuat saya mengerti satu hal: karya tidak pernah berhenti di tangan penyair. Ia akan berkelana, mencari pembaca, menumbuhkan makna-makna baru, bahkan memantulkan wajah penyairnya sendiri. Pada akhirnya, justru dari mata orang lain, saya menemukan kembali diri saya yang sesungguhnya.

Jakarta, 7 September 2025