Riri Satria Lecturer - Researcher - Poetry & Coffee Lover
Sebuah Refleksi Akhir Tahun 2025 dan Menyambut Tahun 2026
oleh: Riri Satria
Manusia adalah makhluk yang berproses. Ia tidak pernah selesai. Seperti alam semesta yang terus mengembang, bergerak, dan berubah, manusia pun tumbuh melalui rangkaian peristiwa yang tak selalu bisa diprediksi. Proses itu tidak instan. Ia dipengaruhi oleh faktor internal yaitu nilai, keyakinan, keberanian, ketakutan, dan faktor eksternal berupa lingkungan sosial, budaya, teknologi, bahkan zaman. Dalam proses itu, terbentuklah jati diri.
Dalam perjalanan hidup ada satu hal yang paling konsisten justru adalah ketidakkekalan. Tidak ada yang benar-benar abadi selain perubahan itu sendiri. Manusia berubah. Kita berubah. Seseorang yang dahulu kita kenal dengan karakter tertentu, hari ini bisa tampil dengan wajah yang sama sekali berbeda. Proses hidup telah “mengerjakannya”. Jika kita memahami makna perubahan, maka sesungguhnya perubahan itu tidak perlu terlalu mencengangkan meski tetap saja kerap meninggalkan tanda tanya dan keheranan.
Lingkaran sosial kita pun mengalami hal serupa. Orang-orang yang dahulu relevan dalam hidup kita, belum tentu masih sejalan hari ini. Ini bukan soal benar atau salah, melainkan soal fase. Persahabatan adalah urusan hati, sementara relevansi sering kali urusan logika. Keduanya bisa berjalan seiring, tetapi tidak selalu demikian. Satu hal yang penting, kita tidak mengingkari kenangan dan nilai kemanusiaan yang pernah terjalin, sambil tetap jujur pada realitas hari ini.
Lingkungan berubah dan setiap kita dan entitas apapun dipaksa oleh ssmesta untuk merespons. Di sinilah hukum alam bekerja yaitu survival of the fittest. Bukan yang paling besar atau paling kuat yang bertahan, melainkan mereka yang paling adaptif. Mereka yang gagal menyesuaikan diri akan teralienasi, tersingkir perlahan, sering kali tanpa disadari.
Proses hidup, dengan segala benturannya, sejatinya adalah proses belajar. Pengalaman adalah guru yang paling jujur, meski sering kali paling keras. Tan Malaka pernah menulis dengan sangat lugas yaitu "terbentur, terbentur, terbentur, dan terbentuk". Drama kehidupan berupa kehilangan, kegagalan, pengkhianatan, keberhasilan, semuanya membenturkan kita pada realitas. Kemudian tanpa banyak kita sadari, dari situlah kita dibentuk menjadi diri kita hari ini, dan akan terus dibentuk esok hari.
Paradigma kita pun berubah. Makna hidup, definisi sukses, bahkan cara memandang dunia tidak lagi sama antara masa lalu dan masa kini. Sekali lagi, tidak ada yang abadi selain perubahan. Meski demikian, selalu ada nilai-nilai luhur yang patut dijaga agar manusia tidak kehilangan arah dalam pusaran perubahan itu sendiri.
Pertanyaannya kemudian menjadi sangat personal dan sekaligus kritis aalah, ke mana semua perubahan ini membawa kita? Apakah kita tumbuh menjadi pribadi yang lebih bermanfaat bagi masyarakat, bagi lingkungan, dan bagi diri kita sendiri? Penilaian orang lain bisa saja beragam, tetapi jawaban paling jujur selalu ada di dalam diri masing-masing.
Dalam dunia bisnis, hukum perubahan bekerja dengan cara yang nyaris kejam. Sejarah penuh dengan contoh bagaimana produk perkembangan zaman justru mati ditelan oleh perkembangan berikutnya. Profesi juru ketik, yang pernah begitu berjaya hingga pertengahan 1980-an, perlahan menghilang seiring hadirnya komputer dan word processor seperti WordStar. Kursus mengetik, yang dahulu menjamur, kini tinggal catatan sejarah.
Gelombang berikutnya datang melalui kursus komputer seperti WordStar, Lotus 1-2-3, dBase yang sempat menjadi primadona selama dua dekade, sebelum kembali ditelan zaman. Lalu hadir internet, citizen journalism, dan dentang lonceng kematian media cetak pun mulai terdengar. Mereka yang gagal meningkatkan kapasitas diri, akhirnya menjadi penonton di pinggir sejarah.
Kini kita berada di era kecerdasan buatan. Polanya sama. AI adalah produk perkembangan zaman, dan ia akan menjadi mitra manusia, naun hanya bagi mereka yang siap berubah. Bayangkan jika para juru ketik di masa lalu menolak belajar hal baru. Mereka akan kehilangan pekerjaan selamanya. Maka, menyalahkan zaman adalah jalan buntu. Jutru yang perlu dilakukan adalah bercermin dan berbenah.
Guru IPA saya di bangku sekolah sewaktu SMA dulu pernah mengatakan bahwa kehebatan manusia terletak pada kemampuannya beradaptasi. Mereka yang tidak mampu akan punah tak peduli seberapa besar atau kuat. Dinosaurus di masa lalu adalah bukti paling gamblang dari hukum alam itu.
Teknologi sejatinya diciptakan untuk mempermudah hidup manusia, menggantikan pekerjaan berbahaya, dan membuka ruang bagi pekerjaan yang lebih manusiawi, yang membutuhkan empati, kreativitas, nalar, dan nilai. Pekerjaan klerikal dan rutin akan digantikan mesin. Manusia dipanggil untuk naik kelas.
Nah, dalam menyikapi perubahan, setidaknya ada empat tipe manusia. Pertama, mereka yang menolak perubahan. Bagi mereka perubahan adalah ancaman. Mereka bertahan di zona nyaman, berperang dengan perubahan, dan sering kali kalah. Kedua, mereka yang hanya menyaksikan perubahan. Tidak menolak, tetapi juga tidak memanfaatkan. Perlahan mereka tergulung dan tersisih. Ketiga, mereka yang mengikuti dan memanfaatkan perubahan. Mereka memasang kincir ketika angin datang, visioner dan antisipatif. Keempat, mereka yang menciptakan perubahan yaitu para pembentuk peradaban.
Manajemen perubahan, pada akhirnya, bukan sekadar konsep organisasi atau strategi bisnis, melainkan adalah sikap hidup. Kemampuan belajar, mengembangkan kapasitas diri, dan beradaptasi adalah karunia Tuhan yang harus dimaksimalkan. Arie de Geus menyebut perusahaan sebagai makhluk hidup. Jim Collins mengingatkan bahwa kejatuhan raksasa sering dimulai dari keangkuhan. Dunia digital menuntut kelincahan, agility, dan keberanian bereksperimen. Di sisi lain, keberpihakan sementara bagi yang lemah seperti UMKM juga menjadi bagian dari kebijaksanaan dalam perubahan.
Transformasi digital, ekonomi hijau, dan prinsip Industry 5.0 yang human-centric, sustainable, dan resilient, adalah wujud nyata dari upaya bertahan dan bertumbuh secara bermakna.
Akhirnya, pesan perubahan itu terasa sangat personal sekaligus spiritual. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Perubahan menuntut ikhtiar, doa, dan keberanian untuk keluar dari diri yang lama.
Selamat berproses, sahabat. Selamat berjalan. Selamat menjalani agility.Ada kalanya kita melangkah bersama, ada kalanya jalan berpisah. Namun hidup, pada hakikatnya, adalah belajar, belajar, dan terus belajar.
Semoga setiap perubahan yang kita tempuh menjadikan kita manusia yang lebih utuh, lebih berguna, dan lebih manusiawi.
(akhir Desember 2025)
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta “Login Haramain” (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).
Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.
Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.
Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.
Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,
Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta "Login Haramain" (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).
Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.
Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.
Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.
Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,
Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]
Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering. Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]
oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]
Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]
Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]
Assalamu alaikum wr wb. Salam dari Arafah, Mekkah Al Mukarramah. Tahukah sahabat bahwa nama Sukarno sangat terkenal di Arafah? Ya, pohon yang di belakang saya itu disebut oleh orang sini sebagai Pohon Sukarno. Pohon Soekarno di Padang Arafah adalah warisan hijau yang berasal dari usulan Presiden Sukarno saat melaksanakan ibadah haji pada tahun 1955. Usulan […]
Riri Satria tentang Bencana Alam Sumatera