Riri Satria
KATEGORI
  • Dokumen
  • Terkini
  • Teknologi & Transformasi Digital
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Sastra (Puisi dan Esai)
  • Apa Kata Media?
  • Apa Kata Sahabat?
  • Membaca 10 Tantangan Puisi di Era AI: Catatan Sunyi dari Seorang Penyair

    15 Sep 2025 | Dilihat: 75 kali

    Presentasi Riri Satria - foto dok Emi Suy

    TINEMU.COM - Oleh Emy Suy - Sabtu pagi jelang tengah hari di Perpustakaan Nasional RI, ruang auditorium itu penuh dengan wajah-wajah yang bersemangat. Saya duduk agak ke belakang, berusaha menangkap setiap kata dari presentasi Riri Satria. Ada layar besar menampilkan slide tentang sejarah kecerdasan buatan, dari IBM Deep Blue yang mengalahkan Gary Kasparov hingga generative AI yang menulis autobiografinya sendiri menjadi buku berjudul "I am Code".

    Di hadapan saya, kata puisi dan algoritma tiba-tiba berada dalam satu kalimat. Perasaan saya campur aduk: antara takjub dan cemas, antara ingin percaya pada masa depan dan takut kehilangan sesuatu yang paling manusiawi.

    Saya teringat masa kecil, ketika menulis puisi dengan pensil 2B di kertas tipis yang gampang sobek. Tidak ada mesin, tidak ada internet, hanya kata yang lahir dari berbagai tantangan dan menjadi pembelajaran dalam hidup. Kini di hadapan saya, puisi dipertemukan dengan kecerdasan buatan—sebuah lompatan yang menegangkan.

    Dari situlah, saya menyimak dan berusaha memahami paparan kuliah umum Riri Satria “10 Tantangan Dunia Perpuisian dan Kepenyairan di Era Kecerdasan Buatan (AI)”. Membaca bukan hanya dengan kepala, tetapi juga dengan hati yang sering merasa kalah cepat dari dunia. Pada sosok seorang Riri Satria sepanjang yang saya kenal, puisi bertemu dengan algoritma, bisa menghasilkan harmoni, juga bisa menghasilkan "konflik".

    Dan saya ingin menanggapi satu per satu tantangan itu, bukan untuk memberi jawaban, melainkan sebagai catatan sunyi seorang penyair yang masih percaya bahwa puisi adalah jalan pulang bagi manusia.

     

    Tantangan #1: Apakah meta estetika diterima?

    Riri menyinggung pergeseran estetika: penyair masa depan mungkin lebih condong pada makna filosofis ketimbang sekadar permainan bahasa. Bagi saya, ini bukan sekadar pilihan estetika, melainkan jalan kembali pada hakikat puisi. Bukankah puisi sejak awal memang lahir sebagai upaya manusia mengucapkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika?

    AI bisa menghasilkan metafora yang indah, bahkan mengejutkan. Tetapi apakah ia bisa menggigil di hadapan makna? Meta estetika menuntut keberanian untuk menembus bahasa menuju pengalaman batin. Dan di titik inilah, mesin akan selalu tertinggal.

     

    Tantangan #2: Puisi—engineering atau art-neering?

    Pertanyaan ini menusuk. Apakah puisi kelak hanya menjadi produk teknik, hasil kalkulasi algorita yang presisi, ataukah ia tetap karya seni yang lahir dari rasa?

    AI bisa menulis pantun, haiku, bahkan soneta dengan presisi yang sempurna. Tetapi kesempurnaan kadang justru menumpulkan luka. Puisi yang terlalu “rapi” sering kehilangan denyut. Sementara puisi manusia membawa ketidaksempurnaan yang justru menyingkapkan jiwa.

    Mungkin jawabannya adalah art-neering—diolah dengan mesin, tetapi disempurnakan oleh tangan manusia yang masih tahu rasanya kehilangan. Tetapi saya masih butuh waktu untuk meyakinkan diri saya tentang hal ini.

     

    Tantangan #3: Puisi sebagai multimedia

    Saya membayangkan puisi yang bisa disentuh, didengar, ditonton, bahkan dialami dalam ruang virtual. Baris-baris kata menjelma gambar, suara, dan pengalaman sensorik. Puisi bukan lagi teks yang diam, melainkan dunia yang hidup.

    Namun pertanyaan pentingnya: apakah esensi puisi tetap ada? Atau ia hanya berubah menjadi hiburan cepat saji, kehilangan kedalaman kontemplasi?

    Bagi saya, multimedia hanyalah medium baru. Yang harus dijaga adalah roh puisi: kejujuran, luka, doa, renungan. Jika roh itu hilang, maka yang tersisa hanyalah efek, bukan puisi.

    Tantangan #4: Hypertext, hypermedia, dan universal chain of poetry

    Kita memasuki dunia di mana satu puisi bisa langsung terhubung ke ribuan teks lain, di mana diskusi lintas negara terjadi dalam hitungan detik. Hypermedia memberi kemungkinan interaksi tanpa batas wujud dan wilayah.

    Tetapi di tengah kebisingan itu, apakah penyair masih sanggup mendengar dirinya sendiri? Hypertext membuka jalan, tetapi sunyi tetap diperlukan agar puisi tidak sekadar menjadi gema dari ribuan suara lain.

    Puisi lahir dari kedalaman, bukan dari kebisingan. Tantangan kita adalah menjaga kedalaman di tengah derasnya koneksi.

    Tantangan #5: Kurator puisi di era AI

    Riri menekankan pentingnya kurator yang mampu memilah: mana puisi manusia, mana hasil mesin. Ini memang penting, tetapi bagi saya peran kurator lebih dari sekadar detektor.

    Kurator adalah penjaga makna, penyaring agar puisi tidak larut menjadi sekadar konten. Di masa depan, mungkin ribuan puisi lahir setiap menit dari mesin. Tetapi kuratorlah yang akan memastikan: mana yang sekadar kata, mana yang sungguh menjadi suara manusia. Itulah puisi yang sesungguhnya.

     

    Tantangan #6: NFT dan hak kepemilikan puisi

    Puisi diikat dalam sertifikat digital, dijual, diperjualbelikan. Di satu sisi, ini memberi perlindungan hak cipta. Tetapi ada getir yang sulit saya sembunyikan: apakah puisi yang lahir dari hati juga harus dibungkus menjadi komoditas?

    Saya khawatir ketika puisi kehilangan sifatnya yang paling murni: sebuah persembahan, bukan barang dagangan. Namun saya juga mengerti: zaman selalu menuntut adaptasi. Maka, tugas kita adalah menjaga agar NFT tidak menenggelamkan nilai ruhani puisi.

     

    Tantangan #7: Puisi yang diregenerasi AI global

    AI belajar dari seluruh puisi di dunia, menyerap, meniru, lalu mencipta kembali. Isu hak cipta jelas penting. Tetapi yang lebih dalam: apakah kita siap menerima kenyataan bahwa puisi manusia bisa direduksi menjadi data?

    Bagi saya, ini mengandung paradoks. Justru karena AI menyerap karya manusia, puisi tetap membutuhkan manusia sebagai sumber. Mesin tidak bisa melahirkan puisi dari kehampaan; ia butuh “ibu kandung”: karya manusia yang nyata. Maka, manusia tetaplah awal sekaligus akhir.

     

    Tantangan #8: AI dan licencias poeticas

    AI mungkin mampu melanggar aturan bahasa, menciptakan metafora liar, bahkan menghasilkan absurditas yang mengejutkan. Tetapi pertanyaannya: apakah pelanggaran itu punya risiko emosional bagi mesin?

    Licencia poetica manusia lahir dari keberanian menanggung akibat. Dari penyair yang rela dicemooh, ditolak, bahkan disensor karena puisinya. AI tidak punya tubuh untuk menanggung risiko. Karena itu, pelanggaran bahasa yang dilakukannya tidak pernah sepenuhnya “puitis”—hanya eksperimen tanpa darah.

     

    Tantangan #9: Kecepatan distribusi puisi

    Puisi kini bisa tersebar dalam hitungan detik ke seluruh dunia. Diskusi realtime terjadi tanpa henti. Tetapi di tengah kecepatan itu, apakah mutu masih bisa dijaga?

    Saya percaya, puisi membutuhkan kelambanan. Ia perlu waktu untuk tumbuh, seperti benih di tanah. Puisi yang lahir terlalu cepat sering kehilangan akar. Maka, tugas penyair masa depan bukan menyaingi kecepatan mesin, tetapi menjaga kualitas dengan kesabaran.

     

    Tantangan #10: AI & Kemanusiaan – High Tech, High Touch

    Akhirnya kita sampai pada inti: teknologi hanya berarti jika diimbangi dengan sentuhan manusiawi. Riri menyebutnya High Tech, High Touch. Saya menyebutnya: roh puisi.

    Mesin bisa menulis, tetapi hanya manusia yang bisa berdoa. Mesin bisa membuat metafora, tetapi hanya manusia yang bisa menangis karenanya.

    Maka, tugas penyair adalah menjaga agar puisi tetap menjadi ruang kemanusiaan—tempat kita belajar mencintai, menderita, dan bertahan.

    Ketika saya keluar dari ruang kuliah itu, Jakarta sore tampak macet seperti biasa. Lampu-lampu kendaraan berjejal, gedung-gedung tinggi berdiri seakan menantang langit. Saya berjalan pelan, masih membawa pulang kegelisahan sekaligus harapan.

    AI mungkin bisa menulis seribu puisi dalam sedetik, tetapi hanya manusia yang bisa menulis satu puisi dengan air mata yang tak terlihat. Dan barangkali, justru di era AI ini, kita dipanggil kembali untuk menulis dengan lebih jujur, lebih dalam, lebih manusiawi.

    Puisi adalah jalan sunyi. Dan selagi manusia masih mau berjalan di jalan itu, ia akan selalu menemukan cara untuk menjaga kehidupan meski dunia dipenuhi suara mesin.

    Jakarta, 14 Sept 2025***

    Sumber : Tinemu.com

    Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusatraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), serta “Metaverse” (2022), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023). Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), serta Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025). Sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024  s/d September 2025, sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia. Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

    Konten Populer

    • Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]

      Jul 02, 2025
    • Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]

      Apr 13, 2024
    • Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering.   Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]

      May 27, 2024
    •   oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]

      May 20, 2024
    • Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]

      Nov 14, 2021
    • DOWNLOAD DOKUMEN

      May 17, 2025
    • Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]

      Jun 06, 2021
    • Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya. “Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait […]

      May 03, 2024

    DIRGAHAYU JAGAT SASTRA MILENIA (JSM) 10 Oktober 2020 - 2025

    POJOK PODCAST

    KULBIZ SESI 1.3
    By BigThinkersID Host Pinpin Bhaktiar
    Kulbiz adalah tentang kuliah ilmu bisnis secara komprehensif, relevan dan asik 😁🥳🚀🔥
    video
    play-sharp-fill

    Podcast Selengkapnya klik disini...

    RECENT EVENT


    NEXT EVENT

    Hide picture