Riri Satria
KATEGORI
  • Dokumen
  • Terkini
  • Teknologi & Transformasi Digital
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Sastra (Puisi dan Esai)
  • Apa Kata Media?
  • Apa Kata Sahabat?
  • Menjahit Luka, Membaca Sunyi : Refleksi Emi Suy Lewat Mata Riri Satria, Imam Ma’arif, dan Helvy Tiana Rosa

    09 Sep 2025 | Dilihat: 9 kali

    Acara Diskusi Kosakata: Proses Kreatif Emi Suy – “Perempuan Penjahit Luka”

    Tulisan ini adalah sejumlah catatan dari acara Diskusi Kosakata: Proses Kreatif Emi Suy – “Perempuan Penjahit Luka” menghadirkan tokoh-tokoh sastra dan budaya yang akan menuntun audiens menyelami dunia puisi.

    Acara itu menghadirkan saya, Emi Suy, penyair yang dikenal sebagai “Perempuan Penjahit Luka” Dalam acara ini saya berbagi pengalaman menulis dan proses kreatifnya.

    Ada juga Helvi Tiana Rosa – Penulis dan pengamat sastra, memberikan perspektif atas karya-karya Emi Suy dan konteks budaya di sekitarnya, dan Imam Maarif – Praktisi sastra dan budaya, menyoroti hubungan antara teks, audiens, dan pengalaman estetis.

     

    Sementara itu, proses kreatif Emi Suy juga dianalisis secara mendalam oleh Riri Satria melalui naskah Kisah Sepuluh Buku Emi Suy, yang menelusuri perjalanan kepenyairan Emi dari buku pertama hingga buku terbaru, termasuk refleksi dan pemaknaan sunyi dalam puisinya. Diskusi dipandu oleh Octavianus Masheka sebagai moderator.

     

    1. Membaca Diri Lewat Mata Riri Satria

    Membaca esai Riri Satria tentang saya terasa seperti bercermin di air yang bening. Saya melihat wajah saya, tetapi juga kedalaman yang sering kali tak sanggup saya tatap sendiri. Riri menuliskan perjalanan kepenyairan saya dengan runtut—dari Tirakat Padam Api hingga gagasan Perempuan Mesti Bisa Menjahit, Setidaknya Menjahit Lukanya Sendiri. Dari balik uraiannya, saya menemukan diri saya sedang dibaca dengan cara lain: lebih objektif, lebih terang, lebih jernih daripada yang biasa saya lakukan terhadap diri saya sendiri.

    Ia menyebut buku pertama saya sebagai semangat awal seorang penyair muda. Saya teringat betapa “tirakat” memang jalan sunyi saya sejak mula: menulis bukan sekadar hobi, melainkan laku hidup. Puisi hadir sebagai cara memadamkan api di dada yang kerap membakar tanpa henti. Kini ketika menoleh ke belakang, saya tahu: api itu tidak benar-benar padam, ia justru berubah menjadi cahaya kecil yang menuntun langkah.

    Riri Satria

    Riri juga menuliskan dengan puitis tentang trilogi sunyi saya: Alarm Sunyi, Ayat Sunyi, dan Api Sunyi. Baginya, alarm adalah paradoks dari sunyi, ayat adalah doa lirih, dan api adalah energi dalam keheningan. Saya membaca catatan itu dengan getar. Ya, benar—saya memang selalu kembali pada kata “sunyi.” Bagi saya, sunyi bukan sekadar kesepian, melainkan ruang batin, ruang doa, ruang ziarah diri.

    Ketika ia menyinggung Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami, dada saya terasa hangat. Buku itu memang persembahan paling intim: tentang ibu, dapur, dan perjalanan usia. Saat Riri menyebutnya personal, saya tahu ia membaca tepat ke jantung saya. Menulis tentang ibu sama dengan menulis tentang kehidupan itu sendiri—sederhana, penuh kerja keras, penuh kasih, dan diam-diam meneguhkan ketabahan.

    Kolaborasi saya dengan Riri dalam Algoritma Kesunyian adalah bukti bahwa puisi bisa dibaca sebagai pola. Saya sendiri tidak pernah menyadari betapa doa, luka, cinta, dan sunyi begitu berulang dalam karya-karya saya. Dialah yang memberi nama “algoritma.” Dari situ saya mengerti, setiap penyair tanpa sadar sedang menuliskan peta batinnya sendiri.

    Membaca tulisan Riri membuat saya sadar: seorang penyair mungkin menulis untuk dirinya, tetapi karyanya selalu akan dibaca orang lain dengan cara mereka sendiri. Dan justru dari pembacaan itulah saya belajar membaca diri saya kembali.

    2. Menuju Kota Sunyi: Membaca Diri Lewat Mata Imam Ma’arif

    Membaca tulisan Imam Ma’arif tentang perjalanan saya, saya merasa seperti menatap cermin yang tak hanya memantulkan wajah, tapi juga masa lalu, kegagalan, kerikil-kerikil kecil yang pernah menggores telapak, bahkan cahaya redup yang dulu saya kira tak akan pernah menjadi terang.

    Saya masih bisa mengingat malam itu—Planet Senin, 2008—ketika saya membawa segepok puisi, atau tepatnya segepok kegagapan yang saya sebut puisi. Di wajah saya, kata Imam, terlihat harapan agar ia segera mengomentari. Saya, perempuan muda yang masih penuh ragu, menyerahkan kertas-kertas itu seperti orang yang menyerahkan rahasia paling rapuh dari dirinya.

    Kini saya menyadari: yang menyelamatkan bukanlah pujian atau kritik, melainkan kelembutan untuk tidak mematahkan langkah awal seseorang. Seandainya saat itu Imam berkata, “ini bukan puisi,” mungkin saya akan pulang membawa luka yang terlalu berat. Tapi Imam memilih jalan lain—jalan yang membuat saya tetap percaya pada kata.

    Imam Ma’arif

    Imam membaca saya dengan istilah yang indah: “menuju kota sunyi.” Saya merenungkannya lama. Sunyi, bagi saya, memang telah berubah wujud. Dulu, sunyi adalah keluhan. Tapi semakin jauh saya berjalan, sunyi berubah menjadi kota yang harus saya masuki. Kota itu bukan lagi pelarian, melainkan rumah.

    Di kota itu, saya belajar membedakan dua macam sunyi: sunyi situasi—lahir dari dunia yang gaduh, tapi tubuh memilih diam; dan sunyi batin—lahir dari keterasingan, dari pertanyaan eksistensial: siapa aku, dari mana aku datang, mau ke mana aku menuju? Sunyi batin adalah luka yang berubah menjadi doa.

    Imam menyebut saya telah memegang tiket menuju kota sunyi. Tiket itu bukan tanda masuk, melainkan tanda kesiapan untuk kehilangan. Sebab di kota sunyi, kita belajar melepaskan segalanya: nama, kebanggaan, bahkan suara sendiri. Yang tersisa hanya percakapan hening antara jiwa dengan sesuatu yang lebih besar.

    Tulisan Imam bukan sekadar catatan tentang perjalanan saya. Ia adalah cermin yang membuat saya harus jujur: bahwa puisi bukanlah tujuan, melainkan jalan. Jalan yang kadang lengang, kadang terjal, kadang penuh cahaya, kadang hanya diliputi kabut. Dan pada jalan itulah saya berjalan—menuju kota sunyi, tempat di mana akhirnya saya belajar: diam pun bisa berbicara, luka pun bisa menyembuhkan, dan kehilangan pun bisa menjadi rumah.

    3. Menyimak Diri Lewat Mata Helvy Tiana Rosa

    Membaca esai Helvy Tiana Rosa tentang puisiku, aku merasa sedang bercermin di sungai yang airnya tak pernah tenang. Kadang bayangan itu jernih, kadang beriak, kadang justru membuatku menemukan wajah yang selama ini tak kusadari ada dalam diriku.

    Helvy menyebut puisiku lirih, subtil, dan domestik. Benar, aku memang tidak pandai menjerit. Aku tumbuh dari tanah yang lebih sering mengajarkan sabar daripada bicara keras. Dari ibu yang menanak nasi dengan doa, dari hujan yang turun tanpa aba-aba, dari kopi pahit yang harus diminum pelan-pelan.

    Tetapi ketika Helvy membacanya dengan mata seorang peneliti, seorang sahabat, seorang perempuan yang berpengalaman mengolah luka dengan kata, aku tersentak. Kukusan yang kutulis bukan sekadar kukusan; ia tubuh doa. Sunyi yang kucatat bukan sekadar kesepian; ia organisme yang beranak pinak. Apa yang kulakukan dengan intuisi ternyata bisa dipetakan Helvy dengan jejaring semiotik, feminisme, bahkan sufistik.

    Helvy Tiana Rosa

    Dan yang lebih mengharukan, aku mendapatkan puisi persembahan darinya. Helvy membacakannya di atas panggung, di hadapan audiens yang hening. Saat itu aku merasa, puisi bukan lagi sekadar teks, melainkan tubuh yang hidup: bergetar, berdenyut, menyapa satu per satu hati yang hadir.

    SUARA SUNYI

    (untuk Emi Suy)
    oleh Helvy Tiana Rosa

    I
    Perempuan harus menulis,
    seperti kukusan di dapur menanak usia,
    seperti doa yang menetes dari genteng kala hujan.
    Tanpa suara itu, sejarah hanya separuh:
    ruang tamu penuh kursi laki-laki,
    tanpa tikar yang masih menyimpan
    aroma tangan ibu.

    II
    Puisi perempuan adalah tubuh yang patah,
    menyala jadi lampu di meja belajar anak-anak.
    Ia mengukur luka dengan sendok sayur,
    menguleni kehilangan menjadi roti,
    menjahit kembali nama-nama yang tercerai
    di rak dapur.
    Dalam setiap baitmu,
    aku mendengar bumi belajar menua
    dengan cara yang lebih sabar.

    III
    Karena itu, perempuan perlu menulis:
    agar kata menjadi jembatan
    antara sunyi yang bening
    dan riuh dunia yang mudah alpa.
    Puisi adalah cara kita berdiri
    di meja rapat yang tak selalu menyisakan kursi.
    Dan aku percaya,
    setiap kali kita menulis,
    separuh bumi yang diam
    kembali punya suara.

    (Jakarta, 6 September 2025)

    Epilog

    Membaca diri melalui mata Riri Satria, Imam Ma’arif, dan Helvy Tiana Rosa membuat saya belajar satu hal penting: penyair tidak pernah sepenuhnya menulis untuk dirinya sendiri. Setiap puisi, setiap esai, setiap kata yang lahir akan menemukan pembacanya, lalu kembali dengan wajah baru.

    Saya menulis dari sunyi, tapi ternyata sunyi itu bisa bergema melalui mata orang lain. Saya menulis dari luka, tapi ternyata luka itu bisa dibaca sebagai jalan kesembuhan. Saya menulis dari dapur kecil ibu, tapi ternyata api pawon itu bisa menerangi panggung yang lebih luas.

    Acara Diskusi Kosakata: Proses Kreatif Emi Suy – “Perempuan Penjahit Luka”

    Pada akhirnya, menulis bagi saya bukan sekadar kerja mencatat, melainkan kerja membiarkan diri dibaca kembali oleh siapa pun yang bersedia menatap dengan mata yang jernih, penuh cinta. Dari mata-mata yang mencinta itu, saya menemukan kembali diri saya yang sesungguhnya.

    Mungkin itulah hakikat puisi: ia bukan milik saya seorang. Ia milik semua mata yang mencintai, semua telinga yang mau mendengar, semua hati yang bersedia ditempa oleh kata. Jika hari ini saya disebut “penyair penjahit luka,” maka sesungguhnya jarum dan benang itu bukan milik saya, melainkan milik kita bersama. Kita menjahit dunia yang robek dengan kata-kata yang sederhana, dengan doa yang lirih, dengan cinta yang tak pernah selesai dituliskan. [T]

    Jakarta, 7 September 2025

    Penulis: Emi Suy
    Editor: Adnyana Ole

    Catatan tambahan:

    Emi Suy adalah nama pena dari Emi Suyanti, lahir di Magetan, Jawa Timur, 2 Februari. Dia adalah perempuan penyair di Indonesia yang namanya terdapat dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia pada tahun 2018, serta Apa Siapa Perempuan Pengarang Penulis Indonesia yang diterbitkan oleh Kosa Kata Kita atau KKK pada tahun 2024.

    Emi telah menerbitkan sejumlah buku, yaitu Tirakat Padam Api (kumpulan puisi, 2011), Alarm Sunyi (kumpulan puisi, 2017), Ayat Sunyi (kumpulan puisi, 2018), Api Sunyi (kumpulan puisi, 2020), Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (kumpulan puisi, 2022), Interval (kumpulan esai, 2023), serta Algoritma Kesunyian (kumpulan puisi bersama Riri Satria, 2023). Selain itu, puisinya juga telah tersebar di sejumlah media massa, antara lain Kompas, Media Indonesia, Banjarmasin Post, Suara Merdeka, serta Pikiran Rakyat. Puisi karya Emi Suy juga diterbitkan di lebih dari 200 buku antologi bersama para penyair lainnya.

    Emi Suy

    Selain menulis puisi, Emi juga menekuni fotografi dan melukis. Karya fotografinya terpilih untuk ikut pameran Fotografi Nasional bertajuk The Power of Woman yang digelar di Bandung tahun 2016. Sementara itu lukisannya terpilih untuk ikut pameran lukisan Kecil itu Keren (KIK) 2025 yang diikuti 500 perupa dari 13 negara, yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, bersama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) serta Indonesian Visual Artists Community (IVA).

    Emi Suy juga menerima sejumlah penghargaan, yaitu 6 Besar  Buku Terbaik Perpustakaan Nasional RI Kategori Buku Puisi tahun 2019 melalui Buku Ayat Sunyi, Basa-Basi Award 2019 melalui buku Ayat Sunyi, serta 25 Nominasi Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi Indonesia 2020 melalui buku Api Sunyi.

    Emi tampil baca puisi pada beberapa festival sastra antara lain Pertemuan Penyair Nusantara XII di Kudus, Jawa Tengah, Festival Sastra Internasional Gunung Bintan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, serta Temu Penyair Asia Tenggara II di Padangpanjang, Sumatera Barat.

    Emi Suy adalah salah seorang pendiri dan aktivis sosial kemanusiaan di Komunitas Jejak Langkah, serta salah seorang pendiri Jagat Sastra Milenia (JSM). Saat ini bergiat di Komunitas Kosakata Jakarta Barat. [T]

     

    Sumber : TATKALA.CO

    Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusatraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), serta “Metaverse” (2022), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023). Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), serta Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025). Sehari-hari Riri Satria adalah Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024, serta Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia. Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

    Konten Populer

    • Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]

      Apr 13, 2024
    • Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering.   Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]

      May 27, 2024
    • Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]

      Jul 02, 2025
    •   oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]

      May 20, 2024
    • Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]

      Nov 14, 2021
    • DOWNLOAD DOKUMEN

      May 17, 2025
    • Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]

      Jun 06, 2021
    • Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya. “Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait […]

      May 03, 2024

    POJOK PODCAST

    KULBIZ SESI 1.3
    By BigThinkersID Host Pinpin Bhaktiar
    Kulbiz adalah tentang kuliah ilmu bisnis secara komprehensif, relevan dan asik 😁🥳🚀🔥
    video
    play-sharp-fill

    Podcast Selengkapnya klik disini...

    RECENT EVENT

    Buku Terbaru Riri Satria

    LOG IN HARAMAIN "Jejak Perjalanan Ibadah Haji"


    NEXT EVENT



     

    Hide picture