Riri Satria
KATEGORI
  • Dokumen
  • Terkini
  • Teknologi & Transformasi Digital
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Sastra (Puisi dan Esai)
  • Apa Kata Media?
  • Apa Kata Sahabat?
  • KISAH SEPULUH BUKU EMI SUY

    04 Sep 2025 | Dilihat: 15 kali

    Riri Satria

    --- Disampaikan pada acara Diskusi Kosakata: Komunitas Sastra Jakarta Barat bertajuk " Proses Kreatif Emi Suy, Perempuan Penjahit Luka",  didukung oleh Komisi Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta, di Gedung Pusat Pelatihan Seni Budaya (PPSB) Jakarta Barat, Sabtu 8 September 2025. ---

    Poetry is a sociohistorical record of both facts and emotion (Rosemarie Dombrowski)

    PENGANTAR

    Emi Suy lahir di Magetan, Jawa Timur, 2 Februari 1979 dengan nama Emi Suyanti. Sampai saat ini Emi sudah menerbitkan lima buku kumpulan puisi tunggal, yaitu Tirakat Padam Api (2011), serta trilogi Sunyi yang terdiri dari “Alarm Sunyi” (2017) dan mengalami cetak ulang tahun 2018 (cetakan kedua) dan 2023 (ceetakan ketiga), “Ayat Sunyi” (2018), “Api Sunyi” (2020) serta “Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami” (2022), serta sebuah buku kumpulan esai sastra “Interval” (2023). Pada tahun 2023 juga menerbitkan buku kumpulan puisi bersama saya – Riri Satria – berjudul “Algoritma Kesunyian”, serta saat ini sedang menyelesaikan buku kumpulan puisi terbaru “Perempuan Mesti Bisa Menjahit Setidaknya Menjahit Lukanya Sendiri” yang rencananya akan diterbitkan akhir tahun 2025 ini dan saya ikut memberi epilog pada buku tersebut.

    Buku Ayat Sunyi terpilih menjadi Juara Harapan III Buku Terbaik Perpustakaan Nasional RI Kategori Buku Puisi tahun 2019, sedangkan buku Api Sunyi masuk nominasi 25 besar Sayembara Buku Puisi, Yayasan Hari Puisi Indonesia tahun 2020. Puisi karya Emi Suy sudah dimuat di lebih dari 100 buku kumpulan puisi bersama, serta di berbagai media nasional, antara lain Banjarmasin Post, Suara Merdeka, Media Indonesia, serta Kompas. Emi juga pencinta fotografi dan karyanya pernah dipamerkan pada Pamaren Fotografi Nasional - The Power of Women - di Bandung tahun 2016, serta Kecil Itu Keren (KIK) 2025 bersama 500 perupa dari 13 negara di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Selain itu Emi juga aktif dalam berbagai aktivitas sosial kemanusiaan.

    Inilah kumpulan kisah perjalan kepenulisan seorang Emi Suy, yang sempat saya rangkum, berupa semua buku yang pernah diterbitkannya.

     

    BUKU #1: TIRAKAT PADAM API (2015)

    Pada suatu sore menjelang akhir tahun 2015, saya ngobrol santai bersama Emi sambil menikmati kopi pada sebuah kafe di kawasan Mal Central Park, Slipi, Jakarta. Ketika itu Emi menyerahkan sebuah buku puisi berjudul Tirakat Padam Api. "Ini buku puisi saya, Bang" ujar Emi kepada saya sambil menyerahkan buku tersebut.

    "Jujur saja, buku ini tidak saya edarkan secara luas, hanya terbatas kepada kalangan tertentu. Saya masih belum puas dengan buku ini, soalnya ini buku gagal karena masih eksperimen dan mencari bentuk. Akhirnya buku ini hanya beredar di kalangan terbatas, dan Bang Riri salah satu orang yang memilikinya", demikian lanjut Emi. Kemudian Emi menceritakan apa yang dia maksud dengan belum puas pada buku tersebut.

    Saya memaklumi penjelasan Emi. Ternyata banyak sekali dinamika terkait buku puisi Emi yang satu ini yang ternyata berujung kepada ketidakpuasan. Emi sempat menghapus buku ini dari biodatanya dan menganggap buku ini tidak pernah ada. Namun saat itu saya memberikan pendapat bahwa apapun yang terjadi, itu adalah sebuah buku. Maka tetaplah dicatat sebagai bagian dari sejarah perjalanan kepenyairan seorang Emi Suy, jangan sampai tidak ada jejaknya sama sekali.

    Selalu ada ketidaksempurnaan dalam setiap hal, termasuk buku, apalagi buku pertama kita. Justru dari situlah kita belajar bagaimana menyempurnakan karya kita menjadi lebih baik lagi ke depannya. Buku ini adalah pelajaran yang sangat berharga bagi seorang Emi Suy. Pada kejadian buku, Emi mengatakan bahwa dia banyak belajar terutama terkait dengan pertemanan, kepercayaan, reputasi penerbit, dan sebagainya.

    Buku ini boleh saja dianggap sebagai buku gagal, namun yang penting kita tidak gagal menarik pelajaran dari apa-apa yang terjadi, dan jangan sekali-sekali menghapus dari sejarah hidup kita tentang sesuatu yang memberi pelajaran berharga.

     

    BUKU #2: ALARM SUNYI, EDISI 1 (2017)

    Pada pertengahan tahun 2017, dalam sebuah acara di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Emi menyerahkan buku puisinya berjudul Alarm Sunyi kepada saya. Sambil senang bercampur gembira dan berseloroh saya tanyakan kepada Emi, "Ini tidak seperti Tirakat Padam Api kan? Ini sudah bagus kan?". Emi pun mengangguk sambil tersenyum sumringah.

    Buku Alarm Sunyi ini adalah buku pertama dari trilogi buku puisi Emi dengan tema “sunyi”. Pada buku ini ada puisi legendaris Emi yang banyak mendapatkan sambutan di dunia puisi Indonesia, yaitu tentang penjahit luka. Kalimat "perempuan harus mampu menjahit, setidaknya menjahit lukanya sendiri" banyak dikutip dan dituliskan ulang oleh berbagai pihak dan ini menjadi ikon puisi Emi, bahkan pernah menjadi tagline sebuah film dokumenter pendek soal perempuan.

    Buku puisi Alarm Sunyi ini membawa Emi mengunjungi Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) tahun 2017 dan menjajal panggung Women of Words Poetry Slam di UWRF 2017. Sebelum Emi naik ke panggung puisi tersebut, saya sempat memberikan masukan atau koreksi untuk terjemahan puisi “Penjahit Luka” ke dalam Bahasa Inggris. Sore-sore di BetelNut Cafe di kawasan Sentral Ubud sekat Istana Puri Saren Agung Raja Ubud, saya terlibat percakapan serius dengan Emi mengenai terjemahan puisi tersebut yang akhirnya kita revisi menjadi lebih baik lagi. Lalu malamnya, saya menyaksikan Emi Suy di panggung Women of Words Poetry Slam di UWRF 2017. Selamat! Emi mantap membawakan puisi “Penjahit Luka” dalam Bahasa Inggris.

    Buku ini awal dari sebuah babak baru dalam perjalanan kepenyairan seorang Emi Suy, karena buku-buku puisi Emi berikutnya menemui takdir yang lebih dahsyat.

     

    BUKU #3: ALARM SUNYI, EDISI 2 (2018)

    September 2018, saya sedang melakukan aktivitas photo hunting bersama Emi di kawasan Hutan Mangrove Pantai Indah Kapuk dan dilanjutkan ke kawasan Ancol memotret sunset dan senja. Saat itu Emi memberikan buku puisi “Alarm Sunyi” edisi kedua serta kaosnya.

    Apa bedanya dengan edisi pertama? Sambil menikmati kopi sore di Kafe Hoax di kawasan Ancol, Emi menjelaskan bahwa pada edisi kedua ini juga dimuat komentar apresiasi dari berbagai pihak, serta ada beberapa revisi pada puisinya. Akibatnya buku edisi kedua lebih tebal daripada edisi pertamanya.

    Kelihatannya setelah edisi kedua ini keluar, Emi semakin produktif menulis puisi dan menerbitkannya di berbagai media. Rupanya ini memberikan efek psikologis yang sangat baik kepada Emi dalam berpuisi.

     

    BUKU #4: AYAT SUNYI (2018)

    Saya dikasih buku pusi Ayat Sunyi oleh Emi bertepatan dengan Idul Fitri tahun 2018. Saat itu Emi beserta beberapa sahabat penyair data bersilaturahmi Idul Fitri ke rumah saya di kawasan Cibubur. Serah terima buku puisi “Ayat Sunyi” ini dilaksanakan di perpustakaan pribadi merangkap ruang kerja saya di rumah. Emi adalah pemyair pertama yang menyerahkan buku puisinya langsung kepada saya di “ruang keramat” itu.

    Buku puisi Ayat Sunyi diterbitkan oleh BasaBasi di Yogyakarta, karena manuskrip yang dikirimkan Emi kepada penerbit tersebut diterima untuk diterbitkan. Ini juga sebuah pencapaian dalam jejak kepenyairan Emi.

    Pada buku ini, puisi Emi kebanyakan ditulis pendek-pendek, dan kemudian menjadi ciri khasnya sampai saat ini. Tentu saja Emi juga menulis puisi yang agak panjang jika memang diperlukan. Sambil menikmati kopi di balkon rumah saya, kami berdiskusi tentang “Ayat Sunyi” dan saya memberikan apresiasi bahwa puisi-puisi Emi sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya (menurut saya), walaupun saya baru baca sepintas karena baru menerima bukunya.

    Akhirnya, buku puisi “Ayat Sunyi” ini mendapatkan penghargaan dari Perpustakaan Nasional RI pada tahun 2019 sebagai Juara Harapan III untuk kriteria buku puisi di Indonesia.

    Begitulah, jangan pernah ragu dalam membuat terobosan atau inovasi, dan Emi melakukan itu terhadap puisinya pada buku “Ayat Sunyi”.

     

    BUKU 5: API SUNYI (2020)

    Pertengahan tahun 2020, Emi mengontak saya dan mengabarkan mau menerbitkan buku puisinya yang baru, serta meminta saya untuk memberikan epilog untuk buku tersebut. Saya pun menyanggupi dan akhirnya membuatkannya untuk Emi.

    Setelah saya baca naskah atau manuskrip buku ini, saya jadi ingat bahwa saya pernah membaca manuskrip berjudul Api Sunyi ini di Jogjakarta Literary Festival di Yogyakarta pada tahun 2019 sebelumnya. Saat itu saya juga sempat bertemu dengan Emi di Yogyakarta.

    Penebitan buku ini juga penuh dinamika karena mengalami cetak ulang disebabkan kualitas cetakan pada awalnya. Namun semua dinamika ini dapat ditangani dengan baik dan tepat pada tanggal 17 Agustus 2020, saya mendapatkan buku puisi “Api Sunyi” ini dari Emi, ketika pentas puisi memperingati Hari Kemerdekaan RI tahun 2020. Pada buku ini ada sebuah puisi sebagai kado untuk Ulang Tahun saya ke-50 pada tahun 2020. Terima kasih Emi.

    Belakangan buku puisi “Api Sunyi” masuk nominasi 25 besar dalam Sayembara Buku Puisi yang diselenggarakan Yayasan Hari Puisi dalam rangka memperingati Hari Puisi Indonesia tahun 2020.

     

    BUKU #6: IBU MENANAK NASI HINGGA MATANG USIA KAMI (2022)

    Buku ini diluncurkan tepat pada Hari Ulang Tahun Emi ke-43 tanggal 2 Februari 2022 atau Emi Suy 02022022. Angka yang cantik bukan?

    Pada buku ini, Emi memang menampilkan Ibu sebagai tokoh sentral puisinya. Emi memang sangat mencintai Ibunya. Emi merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak masih bayi, dan mendapatkan kasih sayang dari Ibunya yang luar biasa sampai dewasa. Emi kerap kali menceritakan kepada saya tentang hubungannya batinnya dengan sang Ibu yang luar biasa. Pada buku puisi ini, Emi memang mencurahkan bagaimana rasa cintanya kepada sosok Ibu.

    Saya memberikan prolog untuk buku ini, sedangkan epilog diberikan oleh penyair Joko Pinurbo atau yang dikenal dengan nama Jokpin. Apresiasi atau endorsemen diberikan oleh sederat nama beken di dunia kepenyairan Indonesia, yaitu Sutardji Calzoum  Bachri, D. Zawawi Imron, Oka Rusmini, Kyai M. Faizi, Prof. Prijono Tjiptoherijanto, Prof. Djoko Saryono, Dr. Mustari Irawan, seta musisi Ananda Sukarlan.

    Saat itu Emi sudah melewati tiga gelombang dalam kepenyairannya. Gelombang pertama adalah fase mencari jati diri (sampai dengan 2015), gelombang kedua adalah fase tinggal landas (tahun 2016-2020), serta gelombang ketiga mengembangkan dan melebarkan sayap (dimulai tahun 2021 yang lalu sampai sekarang). Emi selalu mendapatkan momentum kuat pada gelombang pertama dan kedua. Saya mengamati bahwa Emi adalah sosok pembelajar yang baik dalam proses kepenyairannya, dan mencatat berbagai kemajuan dalam setiap gelombang yang dilewatinya.

    Dalam berbagai kesempatan ngobrol santai sambil menikmati kopi sore dengan Emi, dia selalu mengatakan bahwa ini adalah sebuah karunia Tuhan yang luar biasa kepadanya dan selalu dia syukuri. Ya, menurut saya Emi banyak memiliki tacit knowledge ketimbang explicit knowledge dalam berpuisi dan proses kepenyairannya. Saya sering mengatakan kepada Emi, “you are poetic street smart, Emi”.

    Puisi dapat menjadi rekam jejak sejarah sosial dan emosional. Berbeda dengan sejarah pada umumnya, yang hanya merekam fakta sosial, maka puisi juga dapat merekam fakta emosional, tentu saja apabila jelas waktu penulisan puisinya. Demikian pula dengan sejarah yang sifatnya personal, seperti perjalanan hidup seseorang. Puisi dapat dipergunakan sebagai media untuk menyampaikan fakta sekaligus emosional.

     

    BUKU #7: ALARM SUNYI, EDISI 3 (2017)

    Ini adalah buku kumpulan puisi Alarm Sunyi edisi cetakan ketiga, setelah cetakan pertama tahun 2017 dan kedua tahun 2018. Puisi dalam buku ini tidak ada yang berubah dibandingkan cetakan sebelumnya. Perubahan hanya terjadi pada endorsemen, epilog, serta tata letak. Selebihnya sama dengan edisi yang sebelumnya. Buku ini diluncurkan bulan April 2023.

     

    BUKU 8: INTERVAL (2023)

    Berbeda dengan buku karya Emi Suy lainnya, ini bukanlah buku puisi, melainkan buku kumpulan esai aserta catatan ringan yang pernah dia buat.  Buku ini diluncurkan tanggal 2 Februari 2023, bertepatan dengan ulang tahun si penulisnya, Emi Suy, yang ke-44. Ini adalah buku pertama Emi yang non-puisi yang merupakan kumpulan esai atau ulasan seputar sastra yang dialam dan diamati oleh Emi.

    Kapan saya pertama kali tahu Emi juga menulis esai atau ulasan, selain menulis puisi? Sejak tahun 2017, ketika itu Emi mengulas buku kumpulan puisi saya "Winter in Paris" dan acara peluncurannya pada Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017 di Ubud, Bali.  Ulasan berjudul 'Puisi, Sunyi, dan Keseimbangan" itu juga terdapat dalam buku ini.

    Demikian pula esai Emi mengenang Prof. Sapardi Djoko Damono yang berjudul "Marsinah, Topi, dan Puisi" yang pernah dimuat dalam buku esai "Sapardi Waktu Itu: Ode untuk Sapardi Djoko Damono dalam Esai" yang diterbitkan oleh Kompas (2020).

    Emi juga membuat ulasan khusus untuk momen-momen tertentu yang di hadiri, misalnya "Monolog Ismail Marzuki" yang mengulas pementasan "Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi" di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki tahun 2022.

     

    BUKU 9: ALGORITMA KESUNYIAN (2023)

    Untuk memperinganti Hari Ulang Tahun ke-53 Riri Satria dan ke-44 Emi Suy, Komunitas Jagat Sastra Milenia, serta penerbit JSM Press meluncurkan buku kumpulan puisi "Algoritma Kesunyian: Sehimpun Puisi Terbaik Riri Satria dan Emi Suy" (2023). Buku ini berisi 50 puisi Riri Satria yang dianggap terbaik dari buku kumpulan puisinya, Jendela (2016), Siluet, Senja, dan Jingga (2019), dan Metaverse (2022), serta 50 puisi terbaik Emi Suy dari buku kumpulan puisi Tirakat Padam Api (2011), Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), Api Sunyi (2020), serta Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (2022). Proses seleksi dan kuratorial dilakukan oleh Sofyan RH. Zaid dan Nunung Noor El Niel.

    Sofyan RH Zaid selaku kurator buku ini menelaskan bahwa niat awalnya ini adalah dua buku terpisah, masing-masing untuk Riri Satria dan Emi Suy. Namun rupanya Sofyan dan Nunung menemukan banyak hal-hal menarik yang membuat mereka akhirnya membuat buku ini jadi satu. Puisi ditaruh selang-seling seolah-olah berbalas puisi, padahal ditulis pada tahun yang berbeda.

    Dalam catatan kuratorialnya, Sofyan dan Nunung menyampaikan bahwa dalam proses pengerjaan buku ini, setelah proses seleksi selesai dan terkumpulnya puisi-puisi terbaik dari saya - Riri Satria -  dan Emi Suy, mereka kaget setelah membacanya kembali yaitu adanya titik temu di antara keduanya, yaitu kesunyian, baik pada puisi saya maupun Emi banyak ditemukan diksi sunyi walau dalam dimensi yang berbeda.

    Walaupun sebutan atau label ‘penyair sunyi” disematkan kepada sosok Emi Suy, namun ternyata tanpa disadari rupanya saya pun banyak meengeksplorasi kesunyian dalam puisi yang menjadi perenungan saya pribadi. Sunyi yang diungkapkan dalam puisi keduanya adalah dalam konteks silence, bukan loneliness, walau dalam beberapa puisi ada juga yang bernakna loneliness, namun secara keseluruhan yang dieksplorasi adalah silence.

    Menurut Sofan dan Nunung, saya dan Emi Suy sama-sama mengusung renungan. Perbedannya adalah, saya merefleksikan sunyi 'lebih keluar' yang dibenturkan dengan dimensi sosial. Sementara itu, Emi merefleksikan sunyi 'lebih ke dalam' yang dibenturkan dengan dimensi eksistensial. Saya menjadikan sunyi sebagai subyek dan obyek secara bergantian, sementara itu buat Emi, sunyi sebagai obyek semata secara konsisten.

    Mengapa buku kumpulan puisi diberi judul Algoritma Kesunyian? Pertama kedua kata tersebut mencerminkan brand masing-masing. Algoritma memcerminkan sosok saya yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang computer science. Sementara itu Kesunyian adalah representasi sosok Emi Suy yang memang sudah memiliki label sebagai ‘perempuan penyair sunyi’ dengan trilogi buku puisinya “Alarm Sunyi”, “Ayat Sunyi”, serta “Api Sunyi”.

    Namun dalam analisis Sofyan dan Nunung, sebenarnya algoritma dan kesunyian di antara keduanya bisa berkelindan dan saling meminjam dan bertukar tempat kapan saja. Itulah sebabnya puisi-puisi saya dan Emi Suy dalam buku ini tidak dibuat terpisah menjadi dua bagian, melainkan dibuat selang-seling seakan-akan menjadi kumpulan dialog berbalas puisi yang bersahut-sahutan, walaupun ditulis dalam waktu yang berbeda, tempat yang berbeda, dan tak ada kaitannya sama sekali.

     

    BUKU 10: PEREMPUAN MESTI BISA MENJAHIT, SETIDAKNYA MENJAHIT LUKANYA SENDIRI (2025)

    Buku ini dalam tahap pernyelesaian dan rencananya akan diterbitkan akhir tahun 2025 ini. Saa memberikan epilog untuk buku ini. Buku ini merangkum puisi-puisi karya Emi Suy dalam kurun waktu tahun 2022- 2025 yang pernah dimuat di berbagai media.

    Emi Suy mengungkapkan bahwa semua puisi dalam buku ini lahir bukan dari lembaran kosong, melainkan dari tubuh yang pernah sobek oleh diam, retak oleh pengabaian, dan nyaris hancur oleh ketidakadilan yang disenyapkan. Maka ketika kalimat “Perempuan mesti bisa menjahit, setidaknya menjahit lukanya sendiri” dituliskan, ia bukan sekadar baris puisi. Ia adalah pernyataan hidup. Ia adalah kesaksian.

    Emi sangat menyadari bahwa ada puisi yang tak bisa dibiarkan lenyap di halaman media sosial atau koran pagi. Puisi-puisi ini perlu diberi rumah. Mereka pernah dimuat di berbagai media nasional dan digital, melewati kurasi para redaktur yang ketat tapi lebih dari itu, mereka telah melewati kurasi yang lebih sunyi yaitu pengakuan dari berbagai hati yang pernah hampir hilang arah. Inilah tujuan penerbitan buku ini.

     

    PROSES BELAJAR: MENANTANG DIRI SENDIRI, DARI MENULIS PUISI KE MENULIS ESAI

    Saya membaca esai-esai Emi Suy pada buku kumpulan esainya “Interval” (2023), di mana semua esai pada buku tersebut tersusun dari perspektif seorang penyair yang bisa saja pola pikirnya berbeda dengan seorang pengamat apalagi akademisi. Referensi Emi pada umumnya adalah puisi, dan ini sah-sah saja, mengingat esai adalah sudut padang subyektif penulisnya sebagaimana juga puisi. Barangkali perbedaannya terletak pada bentuk dan cara menggarapnya.

    Dalam puisi, penyair berupaya menyampaikan gagasan secara lebih intens dan puitik dengan pilihan kata yang tepat dan terbatas. Sementara itu, dalam esai, penulis berupaya menyampaikan gagasan secara lugas dan lebih detail dengan pilihan kata yang tepat dan tidak terbatas. Artinya, ruang yang dipakai dalam esai relatif lebih luas dibanding puisi. Sebagaimana diktum Goenawan Mohamad, penyair yang baik, harusnya adalah esais yang baik, demikian juga sebaliknya.

    "Saya belajar menulis esai yan baik, Bang Riri", tiba-tiba dia menjawab seolah paham ada pertanyaan di dalam pikiran saya pada suatu kesempatan ngobrol bersama Emi. "Ya, saya ingin terus belajar menulis. Setelah puisi, saya juga ingin belajar menulis cerpen dan esai. Saya ingin mengembangkan kapasitas diri saya dalam menulis".

    Mungkin karena saya ini seorang dosen, maka kata-kata "belajar" lebih cepat tertangkap oleh pikiran saya daripada kata-kata "puisi", "cerpen", serta "esai". Ya, belajar! Sebuah kata keramat yang membuat peradaban manusia semakin maju, sekaligus yang akhirnya memisahkan manusia, mana yang mau maju serta yang tidak.

    Belajar itu artinya menantang diri sendiri, apakah cepat berpuas diri dengan kondisi yang ada, atau dengan semangat tinggi mencoba hal-hal baru, tantangan baru, bahkan meninggalkan zona nyaman yang sudah terbentuk selama ini. Keinginan untuk mengembangkan kapasitas diri sendiri dalam satu bidang adalah titik awal yang bagus untuk belajar, karena dimulai dari diri sendiri, bukan karena paksaan orang lain atau tekanan eksternal.

    "Buat orang lain yang sudah hebat, mungkin ini adalah hal biasa. Artinya mampu menulis dalam berbagai wujud tulisan, apakah puisi, cerpen, esai, novel, bahkan sebagai jurnalis juga. Namun buat saya, ini masih proses belajar. Walaupun puisi saya sudah banyak dimuat di berbagai buku dan media, namun ketika esai saya ini diterbitkan dalam sebuah buku kumpulan esai, saya senang sekali. Artinya ada kemajuan dalam proses belajar saya. Tentu, saja proses belajar dalam hidup tidak boleh berhenti".

    Saya lebih senang mendengar kisah Emi dan proses pembelajaran dirinya daripada mendengar tulisan yang dia buat. Bagaimana menantang diri sendiri untuk menembangkan kapasitas.

    Terlepas dari kelemahan dan kekurangannya sebagai buku esai pertama, Emi telah menunjukkan pada kita keberaniannya dengan buku esai ini. Dia berani keluar dari pakem dirinya sendiri sebagai penyair yang hanya menulis puisi. Berani dalam berbagi pengalaman dan mengungkap sisi-sisi lain pribadinya kepada publik dengan harapan, kita bisa mendapatkan pelajaran.

    Artinya, Emi telah berani berbeda dengan Patrick Rothfuss yang mengatakan: “He writes like he´s afraid someone might actually understand him”.

     

    MAKNA SUNYI PADA EMI SUY

    Menarik mengamati perjalanan kepenyairan Emi Suy. Emi kerap kali menggunakan diksi sunyi, apakah maksudnya?

    Menurut saya, diksi sunyi yang menjadi ciri khas Emi sering disalahpahami menjadi loneliness, padahal bukan! Sunyi versi Emi dalam puisi-puisinya adalah silence yang bermakna kejernihan menangkap suara-suara tak terdengar atau hidden and unspoken words melalui “mensunyikan diri”. Sunyinya Emi Suy adalah silence seperti yang dibahas oleh Emily Dickinson dan Thomas Carlylee di atas, serta Justin Zorn dan Leigh Marz dalam buku mereka yang berjudul Golden: The Power of Silence in a World of Noise, di mana sunyi atau silence bermakna how to go beyond the ordinary rules and tools of mindfulness. Bahkan jika kita tarik ke referensi yang lebih tua, maka sunyinya Emi Suy juga seperti sunyinya Helena Petrovna Blavatsky dalam bukunya The Voice of the Silence tahun 1889, dimana silence dimaknai sebagai jalan mendapatkan spiritual enlightenment dengan tujuan uplifting all of humanity.

    Bagi Emi Suy, sunyi itu inti, di mana kita berasal dan kembali. Dalam berbagai percakapan dengan Emi, sunyi bagi seorang Emi adalah momen merasa segalanya menjadi terbuka, arah, jalan, pesan bahkan tujuan. Maka sunyi menjadi sumber penciptaan bagi Emi dengan menggali berbagai makna sunyi itu sendiri. Bagi Emi sunyi itu mempunyai esensi tersendiri.

    Sebagai perempuan, melalui sunyi Emi menziarahi labirin dirinya sendiri. Bagi Emi kehdiupan  sehari-hari terlalu riuh, terkadang penat, lelah mendera setelah seharian jungkir balik menembus waktu, tenggelam oleh rutinitas yang mau tidak mau telah mendikte hari-hari saya. Maka melalui sunyi dia menemukan kemewahan, healing, kekuatan, saya membutuhkan sunyi lantas tersesat di dalamnya dan melahirkan karya sunyi yang berbunyi. Bahwa sunyi yang gaduh yang berisik dan bising.

     

    PENUTUP

    Dunia kepenyairan atau kepenulisan sastra pada umumnya adalah dunia intelektual. Karya sastra yang baik dan berkelas lahir dari tangan penulis yang serius, persisten, cerdas, memiliki proses kreatif yang matang, serta memiliki indentitas sendiri soal kepenulisan. Menurut hemat saya, Emi Suy memiliki dan sudah melakukan itu semua. Selamat untuk Emi atas semua pencapaian sampai saat ini. Semoga akan semakin dahsyat lagi ke depanya.

    Sebagai penutup tulisan ini, saya tampilkan kembali sebuah puisi yang pernah saya buat bersama Emi Suy pada tahun 2015, setahun sebelum Alarm Sunyi edisi pertama terbit.

     

    KONTEMPLASI

    biarkan dia meninggalkan jejak puisi

    sebelum dihabisi

    biarkan dia menciptakan telaga

    menampung anak-anak hujan

    merayakan kesepian

    di depan cermin

    ditemani angin dingin

    sepi itu terdiri-aku-kau saat sendiri

    mendengar desah nafas dan degup jantung ini

    memeluk sunyi

    di tengah malam

    berteman nyanyian alam

    melihat bayangan berbicara

    melintas masa lalu

    juga masa depan

    bisikan lirih derap langkah-mengais jaman

    wacana kehidupan

    suara sepanjang jalan

    suara itu akan menuntun langkah di jalan setapak

    bernama kehidupan

    kehidupan

    menghidupkan

    menghidupi

    hidup adalah perjalanan sementara

    menuju kehidupan kekal

    biar saja doa-doa yang mendekap

    di awal dan penghujung perjalanan

    merenung

    kontemplasi

    tentang sunyi

    hakikat diri dengan segala ingatan dan rancangan

    ketika waktu tak pernah kembali

    kita ada di pusaran narasi besar kehidupan

    (Emi Suy dan Riri Satria, 2015)

    About Author

    Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusatraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), serta “Metaverse” (2022), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023). Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), serta Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025). Sehari-hari Riri Satria adalah Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024, serta Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia. Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

    Konten Populer

    • Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]

      Apr 13, 2024
    • Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering.   Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]

      May 27, 2024
    • Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]

      Jul 02, 2025
    •   oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]

      May 20, 2024
    • Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]

      Nov 14, 2021
    • DOWNLOAD DOKUMEN

      May 17, 2025
    • Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]

      Jun 06, 2021
    • Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya. “Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait […]

      May 03, 2024

    POJOK PODCAST

    KULBIZ SESI 1.3
    By BigThinkersID Host Pinpin Bhaktiar
    Kulbiz adalah tentang kuliah ilmu bisnis secara komprehensif, relevan dan asik 😁🥳🚀🔥
    video
    play-sharp-fill

    Podcast Selengkapnya klik disini...

    RECENT EVENT

    Buku Terbaru Riri Satria

    LOG IN HARAMAIN "Jejak Perjalanan Ibadah Haji"


    NEXT EVENT



     

    Hide picture