Riri Satria Lecturer - Researcher - Poetry & Coffee Lover
Buku ini memadukan puisi dan esai reflektif yang merekam pengalaman spiritual ibadah haji. Melalui kata-kata yang jernih, Riri Satria mengajak pembaca merenungi kerendahan diri, keikhlasan, dan cahaya kecil kebaikan dalam hidup.Beli buku terlaris online
SEBUAH buku tipis sejumlah 48 halaman saya terima siang itu dari tangan penyair Ubai Dillah Al Anshori di sebuah kafe di sudut Padang Panjang. Buku kumpulan puisi dan esai pendek. Judulnya Log In Haramain: Jejak Perjalanan Ibadah Haji yang ditulis Riri Satria.
Selain saya, Ubai juga memberikan buku itu kepada sutradara teater Sulaiman Juned yang juga dosen dan pendiri Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang. Buku tersebut titipan dari penulisnya, Riri Satria, saat menyinggahi Kota Padang dalam sebuah acara beberapa pekan lalu. Kebetulan saya tidak sempat bersua, sebab sedang mengurus sekelompok mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia yang mengikuti program Residensi Belajar Bersama Maestro (BBM) di Rumah Puisi Taufiq Ismail dan Museum Sastra Indonesia di Aie Angek, Tanah Datar. Maestronya adalah sastrawan Indonesia asal Payakumbuh, Gus tf Sakai.
Beberapa kali ke Sumatera Barat, khususnya di Padang, Uda Riri—demikian saya akrab menyapanya—sering berkabar. Ia beberapa kali menjadi narasumber kegiatan sastra di Padang Panjang. Ia bukan hanya Staf Khusus Menkopolkam RI, melainkan juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia dan pengamat transformasi teknologi digital. Hebatnya lagi, ia seorang penulis buku-buku sastra, terutama puisi.Beli buku terlaris onlineKursus seni online
Uda Riri mendirikan Jagat Sastra Milenia, sebuah komunitas yang aktif menghidupkan denyut sastra dengan menerbitkan buku anggota dan menghelat berbagai kegiatan sastra. Dari kiprahnya, saya melihat sosok yang mampu menjembatani dunia akademik, birokrasi, dan seni. Tidak banyak orang yang bisa menapaki tiga ranah itu sekaligus dengan teguh.
Saya menuntaskan bacaan buku ini dalam sekali duduk. Bukan karena tipis semata, melainkan karena daya pikat kata-kata yang jernih, reflektif, dan menghadirkan ruang tafakur. Pada pengantar penerbit disebutkan bahwa sebagian puisi dalam buku ini diambil dari laman Facebook penulis, sebagian lagi dikirim langsung kepada penerbit. Artinya, teks-teks itu lahir dalam keseharian, di sela perjalanan, dan dalam momentum batin yang tulus.
Membaca Log In Haramain terasa seperti mendengar seorang sahabat bercerita dengan lirih, bukan sekadar melaporkan perjalanan ibadah haji, melainkan menghadirkan denyut rasa yang dialami seorang manusia ketika berhadapan langsung dengan kesucian, dengan kebesaran Allah, dengan kerendahan dirinya sendiri.
Mari kita simak beberapa penggalan puisi dan esai yang saya kutip pada tulisan ini, salah satunya puisi “Takbir”:
Ada satu takbir yang selalu kujaga
takbir di hatiku, kepada-Mu.
Dua baris puisi ini sederhana, tetapi menyimpan kedalaman makna. Takbir yang ia maksud bukan sekadar ucapan lisan, melainkan gema batin yang terus dijaga. Di tengah keramaian ritual, setiap jamaah berusaha merawat takbir personalnya, suara hati yang meneguhkan bahwa Allah Maha Besar. Membaca lirik puisi ini, saya teringat betapa sering manusia kehilangan gema batin itu ketika kembali ke keseharian duniawi. Riri Satria seolah mengingatkan: jangan biarkan takbir hanya hidup di masjid atau tanah suci, jagalah ia di dalam hati.
Lalu dalam puisi “Kembali Aku Dengar Azan Subuh di Masjid Nabawi”, ia menulis:
Aku semakin terasa kecil
lalu aku tenggelam
dalam pusaran keagungan-Mu
Ada pengalaman universal di sini. Siapa pun yang pernah mendengar azan di Masjid Nabawi akan merasakan getaran yang sulit diungkapkan. Riri memilih diksi “terasa kecil” dan “tenggelam”. Itulah kondisi spiritual ketika ego manusia luluh, tak berdaya di hadapan kebesaran Tuhan.
Puisi lain, “Aku Rindu Azan Magrib di Masjid Al-Haram”, menghadirkan nuansa serupa:
Keagungan-Mu
menundukkan ego
duniawiku.
Baris ini menyingkap pelajaran haji yang paling mendasar: meletakkan ego. Dunia kerap membuat manusia pongah, tetapi di hadapan Ka’bah, semua kemegahan duniawi runtuh.
Dalam puisi “Tawaf”, Riri Satria menulis:
Kutinggalkan puisi di sini
tentangku
tentang-Mu
dalam tawafku.
Saya membaca ini bukan sekadar penggambaran ritual tawaf, melainkan penyaksian pribadi bahwa setiap putaran di sekitar Ka’bah adalah dialog antara hamba dan Tuhannya. Puisi hadir sebagai jejak yang ia tinggalkan, tanda bahwa ibadah bukan hanya gerakan fisik, tetapi juga perjalanan batin yang menorehkan kata.
Hal yang sama tampak dalam puisi “Arafah”:
Sujudku
Kerdilku
Menundukkanku
menjadi tak berarti
di hadapan-Mu
yang Mahasegalanya.
Arafah dikenal sebagai puncak haji, tempat manusia benar-benar menyadari kefanaannya. Puisi ini menjadi saksi bagaimana Riri Satria merasakan dirinya tiada apa-apanya.
Salah satu puisi yang paling menggugah adalah “Jalan Puisiku”:
Tuhan
Jangan cabut puisi-Mu
sudah tertanam dalam roh diriku
karena puisi itu
adalah Ayat-Mu
jalanku
hidupku
cahaya untukku
melangkah di jalan-Mu.
Di sini, Riri Satria menegaskan keterhubungan antara puisi dan wahyu. Puisi baginya bukan sekadar karya estetis, melainkan jalan spiritual. Ia melihat puisi sebagai bagian dari cahaya Tuhan, jalan hidup yang menuntun dirinya. Pernyataan ini terasa jujur dan dalam, mengingat Riri bukan hanya akademisi dan pejabat, melainkan juga penyair yang konsisten menulis.
Selain puisi, buku ini juga memuat esai pendek. Gaya tulisannya tetap puitis, seakan esai dan puisi melebur. Dalam esai “Jangan”, Riri menulis:
Jangan pernah merasa ibadahmu lebih baik daripada orang lain.
Hanya Allah Swt. satu-satunya yang berhak menilai ibadah atau pahala seseorang.
Kalimat ini penting diingat. Di tengah masyarakat yang sering terjebak pada “pamer” ibadah, pengingat semacam ini terasa menyejukkan.
Dalam esai “Tentang Maaf Memafkan”, ia menulis:
Baik meminta maaf maupun memaafkan dengan tulus dan ikhlas adalah perbuatan mulia.
Justru menyimpan dendam adalah perbuatan tercela.
Refleksi ini relevan, sebab ibadah haji sejatinya bukan hanya tentang rukun ritual, tetapi juga bagaimana hati menjadi lapang, tidak menyimpan dendam.
Esai “Keinginan dan Kebutuhan” menekankan pentingnya menerima dengan ikhlas apa yang kita dapatkan:
Akhirnya kita harus berdamai dengan diri kita… menerima dengan penuh syukur apa yang diberikan kepada kita.
Pesan ini sejalan dengan semangat haji: mengikis ambisi duniawi dan menumbuhkan rasa cukup.
Kembali pada puisi, salah satu puisi yang juga menyentuh dalam pembacaan saya adalah “Pada Suatu Malam di Jumarat Mina”:
Hidup ini adalah perjalanan puitis yang harus diisi
dengan diksi-diksi kebaikan…
Cahaya walau kecil
seperti lilin tetap berarti dalam kegelapan.
Bait ini mengandung optimisme. Haji adalah perjalanan spiritual, tetapi maknanya harus kembali pada kehidupan sehari-hari: menebarkan kebaikan meski kecil. Bahkan cahaya lilin pun bermakna dalam gelap.
Membaca Log In Haramain membuat saya merenung bahwa ibadah haji adalah perjalanan batin yang begitu personal, namun juga universal. Puisi-puisi Riri Satria menghadirkan keintiman itu, membuat kita—termasuk saya—yang belum berhaji bisa ikut merasakan getarannya, dan bagi yang sudah, bisa kembali mengenang suasana sakral di tanah suci.Beli buku terlaris online
Esai-esai pendek Riri Satria melengkapi puisi dengan refleksi praktis: jangan merasa paling benar dalam ibadah, belajarlah memaafkan, terimalah dengan ikhlas apa yang Allah beri. Semuanya berpadu menjadi catatan yang humanis, jernih, dan mengajak pembaca untuk kembali menata hati.
Buku tipis ini bukan sekadar kumpulan puisi perjalanan, melainkan undangan untuk tafakur: tentang kerendahan diri, tentang keikhlasan, tentang cahaya kecil yang tetap berarti. Riri Satria menulis dari pengalaman batin, dan kita sebagai pembaca diajak ikut menjejak di tanah haram melalui kata-katanya.
Akhirnya, saya menyimpulkan bahwa Log In Haramain adalah bukti bahwa puisi mampu menjadi saksi spiritual, menjadi doa, menjadi jalan. Ia bukan sekadar kata, tetapi gema hati yang merindukan Tuhan. Membaca buku ini seperti menapaki jalan panjang bersama seorang sahabat, lalu menemukan bahwa setiap langkah, setiap takbir, setiap puisi, adalah bagian dari ziarah manusia menuju Sang Pencipta.
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Foto: Penyair Ubai Dillah Al Anshori saat memberikan titipan buku Log In Haramain kepada saya dan sutradara teater Sulaiman Juned di sebuah kafe di sudut Padang Panjang, beberapa waktu lalu.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah
Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan RI bidang Digital, Siber dan Ekonomi | Pakar Teknologi Digital | Pengamat Ekonomi Digital | Komisaris Utama Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS)/Pelindo Solusi Digital (PSD) | Founder dan CEO Value Alignment Advisory (VA2) | Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia | Pendiri Jagat Sastra Milenia & SastraMedia.com | Penyair & Penulis | Pencinta Kopi
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]
Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering. Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]
Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]
oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]
Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]
Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]
Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya. “Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait […]