Riri Satria
KATEGORI
  • Dokumen
  • Terkini
  • Teknologi & Transformasi Digital
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Sastra (Puisi dan Esai)
  • Apa Kata Media?
  • Apa Kata Sahabat?
  • Riri Satria Sebut Tahun 2025 Denyut Literasi Sastra di Indonesia Tetap Hidup, Ada Aspek Baru

    28 Dec 2025 | Dilihat: 24 kali

    “Sastra tidak mati, ia hanya berpindah habitat,” ujar Penyair dan Sastrawan Riri Satria dalam wawancara khusus secara tertulis di Jakarta. Sabtu (27/12/2025), tentang Refleksi Sastra di Indonesia sepanjang tahun 2025 dan memasuki tahun 2026.

    Namun, lanjutnya, kendala utamanya masih berulang yaitu minimnya ekosistem pendukung yang berkelanjutan, bukan sekadar acara seremonial.

    “Literasi sastra sering terjebak elitis, terasa jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat, distribusi karya masih terbatas pada lingkar komunitas yang itu-itu saja,” kata Riri Satria, Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM).

    Menurutnya, solusinya bukan hanya memperbanyak lomba atau festival, melainkan membangun ruang temu lintas generasi dan lintas disiplin, menguatkan peran komunitas sebagai simpul literasi lokal, mendorong sastra hadir dalam bahasa yang membumi, tanpa kehilangan kedalaman.

    “Oleh karena itu menyambut 2026, tantangan utama sastra Indonesia bukan lagi sekadar melahirkan karya yang indah secara estetika, tetapi menjadikannya relevan secara sosial,” ucap pengamat ekonomi digital dan kreatif ini.

     

    Beresiko Terasing di Lingkar Kecil

    Dikatakannya lagi, sastra yang hanya berputar pada permainan bahasa dan metafora, tanpa bersentuhan dengan realitas hidup masyarakat, berisiko terasing di lingkar kecil pembacanya sendiri.

    Padahal, sejak awal sejarahnya, sastra Indonesia lahir dari kegelisahan zaman dan pergulatan manusia nyata. Relevansi sosial tidak berarti sastra harus berubah menjadi slogan atau propaganda.

    “Sastra tetap bekerja melalui kehalusan, empati, dan daya sentuh batin,” kilah penyair yang karya puisinya diterbitkan lebih dari 50 buku puisi ini.

    Ia menjadi penting ketika mampu memberi bahasa bagi pengalaman sehari-hari, menyuarakan yang terpinggirkan, serta menemani pembaca memahami luka, harapan, dan pertanyaan hidupnya.

    Di tengah krisis sosial, budaya digital, dan kegelisahan generasi muda, sastra seharusnya hadir sebagai ruang refleksi bersama.

    “Karena itu, menyambut 2026, sastra perlu lebih berani keluar dari ruang nyaman, mendekat ke masyarakat, berdialog dengan generasi baru, dan hadir di ruang-ruang publik,” katanya.

    Selain itu menjaga keindahan tetap penting, tetapi keindahan yang hidup adalah keindahan yang bermakna, yang tidak hanya dikagumi, melainkan juga dirasakan dan dibutuhkan. “Sastra adalah adalah salah satu pilar penjaga peradaban,” selanya.

    Menjawab pertanyaan bagaimana dengan apresiasi pemerintah terhadap denyut sastra Indonesia dan masa depan sastrawan.

    “Saya melihat pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan dan instansi terkait sudah mulai menunjukkan itikad baik, tetapi masih cenderung bersifat programatik dan administratif, belum sepenuhnya menyentuh kehidupan konkret sastrawan,” tegasnya.

    Dukungan terhadap penerbitan antologi sastra, seperti yang dilakukan berbagai komunitas sastra adalah langkah positif.

    “Namun ke depan, perlu dipikirkan skema subsidi dan pendanaan yang transparan dan berkelanjutan, bukan berbasis kedekatan, lalu pengakuan sastra sebagai kerja kebudayaan, bukan sekadar akivitas pelengkap. Sastra itu karya intelektual,” kata Riri Satria yang karya puisinya telah diterbitkan dalam buku antologi puisi tunggal seperti “Jendela (2016)”, Winter in Paris (2017)”, “Siluet”, “Senja”, dan “Jingga (2019).”

     

    Masa Depan Sastrawan

    Ditanya lagi tentang masa depan sastrawan, Riri Satria mengakui Indonesia memang tertinggal dibanding negara seperti Malaysia yang memiliki konsep Sastrawan Negara.

    “Kita perlu memikirkan bentuk penghargaan jangka panjang (residensi, jaminan sosial budaya, anugerah negara), pengakuan negara terhadap sastrawan sebagai arsip hidup kebudayaan bangsa, lalu yang tak kalah penting adalah penghargaan bukan soal kemewahan, tetapi martabat kebudayaan. Kata kuncinya martabat kebudayaan,” ucapnya.

    Lalu bagaimana usulan untuk DPR RI tahun 2026 mendatang?

    “Payung hukum yang lebih kuat bagi ekosistem sastra dan literasi, bukan hanya industri kreatif.Penguatan anggaran kebudayaan yang benar-benar sampai ke komunitas akar rumput. Regulasi yang mendukung sastra masuk ke ruang publik dan pendidikan,” pungkasnya.

    Terkait alih generasi, penyair dan sastrawan perlu keluar dari zona nyaman. Generasi Z hidup dalam dunia visual, cepat, dan dialogis.

    Maka: Sastra perlu hadir dalam format baru seperti pembacaan puisi performatif, musikalisasi, konten digital.Bahasa sastra harus jujur dan relevan, bukan menggurui.

    Sekolah dan kampus perlu menjadikan sastra sebagai ruang dialog, bukan sekadar hafalan.Sastra tidak boleh hanya “diajarkan,” tetapi dihidupkan.

    Generasi Z dalam dunia sastra menghadirkan paradoks yang menarik di mana mereka sering dianggap jauh dari sastra, tetapi justru sedang menciptakan bentuk sastra yang baru.

    Generasi Z tumbuh di dunia digital yang serba cepat, visual, dan interaktif. Mereka jarang datang ke sastra melalui buku tebal atau kanon klasik, melainkan lewat kutipan pendek, puisi mikro, lirik lagu, spoken word, dan narasi personal di media sosial. Bagi mereka, sastra bukan selalu soal “karya besar”, tetapi soal kejujuran emosi dan keterhubungan pengalaman.

    Karena itu, puisi Gen Z sering sederhana, langsung, bahkan terkesan “terlalu jujur” namun justru di situlah daya tariknya.

    “Tantangannya, sastra Gen Z kerap dipandang dangkal atau tidak matang secara estetika oleh generasi sebelumnya. Padahal, ini lebih merupakan perbedaan medium dan zaman, bukan ketiadaan kualitas. Banyak di antara mereka sedang mencari bentuk, bahasa, dan keberanian bersuara. Jika diberi ruang dialog dan bukan penghakiman, bisa jadi mereka berpotensi memperkaya peta sastra Indonesia dengan perspektif baru tentang identitas, mental health, relasi, dan dunia digital,” katanya lagi.

    Ke depan, peran sastrawan dan institusi sastra adalah menjembatani alih generasi, bukan menutup pintu.

    Sastra perlu hadir di ruang yang akrab bagi Gen Z yaitu sekolah, kampus, panggung terbuka, dan platform digital, tentu saja tanpa kehilangan kedalaman. Jika sastra mau mendengar dan berdialog, Generasi Z bukan ancaman bagi sastra, melainkan masa depannya.

    Dalam wawancara tertulis ini, Riri Satria – dilahirkan di Padang 14 Mei 1970- ditanya juga bagaimana fenomena puisi yang menjelma menjadi lagu, baik melalui tangan komponis seperti Ananda Sukarlan maupun melalui bantuan kecerdasan buatan (AI).

    Hal ini menandai satu hal penting yaitu puisi tidak pernah beku. Ia bukan artefak museum yang hanya layak dibaca dalam keheningan buku, melainkan makhluk hidup yang bisa berpindah medium, bernapas dalam bunyi, dan menemukan pendengarnya dengan cara baru. Ketika puisi menjadi musik, ia sedang memperluas wilayah pengaruhnya, keluar dari halaman kertas menuju ruang dengar dan rasa.

    “Apa yang dilakukan Ananda Sukarlan lewat art song atau tembang puitik menunjukkan bahwa puisi dan musik memiliki akar yang sama ritme, jeda, serta emosi. Musik tidak “menghancurkan” puisi, justru menyingkap lapisan-lapisan makna yang mungkin tersembunyi di balik kata. Nada memberi tubuh pada metafora, tempo memberi napas pada larik. Buat saya, di titik ini, tafsir menjadi jamak dan itu bukan kelemahan sastra, melainkan kekuatannya,” ucapnya.

    Kehadiran AI dalam proses ini membawa dinamika baru. AI mampu mengolah teks puisi menjadi lagu, memilih harmoni, bahkan menentukan suasana musikal dalam hitungan detik.

    Namun, di sinilah batas penting perlu ditegaskan bahwa AI adalah alat, bukan pencipta makna. Mesin tidak memiliki ingatan masa kecil, tidak pernah patah hati, tidak mengenal takut, rindu, atau harap. Puisi lahir dari luka dan cinta manusia, sesuatu yang tidak bisa disimulasikan, hanya bisa ditiru, sesuatu yang tidak masuk ke dalam ranah AI sama sekali.

    Karena itu, yang perlu dijaga bukan penolakan terhadap teknologi, melainkan etikanya. Hak cipta harus dihormati.

    Nama penyair tidak boleh hilang di balik kecanggihan algoritma. Puisi bukan sekadar “bahan baku” yang boleh diproses tanpa izin atau kesadaran moral. Teknologi seharusnya memperkaya pengalaman sastra, bukan mereduksi puisi menjadi sekadar konten.

    Jika digunakan dengan bijak, AI justru bisa menjadi jembatan penting, terutama bagi generasi muda. Puisi yang dinyanyikan, divisualkan, atau diolah secara digital bisa menjangkau Gen Z yang hidup dalam budaya audio-visual. Dari lagu, mereka bisa kembali ke teks. Dari bunyi, mereka menemukan kata. Dari teknologi, mereka akhirnya bertemu sastra.

    Pada akhirnya, puisi yang berubah menjadi lagu baik oleh manusia maupun dengan bantuan mesin, mengajarkan kita satu hal bahwa sastra yang hidup adalah sastra yang bersedia berdialog dengan zamannya, tanpa kehilangan martabat dan kemanusiaannya.

    Teknologi boleh berkembang, medium boleh berubah, tetapi makna tetap berakar pada manusia. Dan selama akar itu dijaga, puisi akan selalu menemukan cara untuk hidup.

    Soal Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)

    Soal Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Riri Satria membahasnya agak panjang. Banyak orang menganggap bahwa dunia seni bergerak melalui intuisi, spontanitas, dan inspirasi.

    Seolah-olah perencanaan strategis hanya milik perusahaan, pemerintah, atau lembaga bisnis.

    “Padahal, di tengah perubahan zaman yang serba cepat, seni dan kebudayaan justru membutuhkan strategi lebih dari sebelumnya,” ucapnya.

    Perencanaan strategis memang kerap diasosiasikan dengan dunia korporasi atau pemerintahan. “Kita terbiasa mendengar istilah strategic visioning, strategic planning, roadmap, dan berbagai perangkat teknokratis yang terkait pembangunan ekonomi, bisnis, dan administrasi negara.”

    Namun sesungguhnya, dunia kebudayaan bahkan dalam lingkup yang lebih kecil, yaitu kesenian tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan akan cara berpikir strategis tersebut. Seni dan budaya tidak berdiri di ruang hampa, keduanya bergerak dalam lanskap sosial, politik, teknologi, dan peradaban yang menuntut kemampuan membaca arah masa depan.

    Hal ini menunjukkan bahwa kerja artistik dan kerja teknokratis bukanlah dua hal yang bertentangan. Keduanya saling melengkapi untuk menjaga keberlanjutan dunia kesenian dan kebudayaan itu sendiri.

    Dengan kata lain, strategic planning dalam seni bukan sekadar soal manajemen, tetapi juga cara untuk menjaga struktur medan kesenian dan kebudayaan agar tetap produktif dan berkelanjutan.

    Secara kodrati, tugas seniman adalah menciptakan karya, sedangkan budayawan melahirkan gagasan besar untuk menjaga kesinambungan kebudayaan bahkan peradaban.

    Namun tanggung jawab tersebut tidak menghapus kebutuhan akan kerja-kerja teknokratis. Justru melalui perangkat teknokratislah arah masa depan dapat dirumuskan secara sistematis: Bagaimana memastikan tujuan tercapai, bagaimana merancang tata kelola yang rapi, dan bagaimana mencegah persoalan menjadi tumpang-tindih atau “benang kusut.”

    Selain itu, impact analysis menjadi instrumen penting untuk menilai apakah kegiatan seni dan budaya telah memberi manfaat, membawa kemaslahatan publik, serta mengidentifikasi hal-hal yang perlu diperbaiki. Tanpa evaluasi yang terukur, kegiatan hanya akan berputar tanpa arah.

    Di Jakarta, peran Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) semakin penting. Namun, dari berbagai diskusi dalam Musyawarah Kesenian Jakarta (MKJ), muncul sejumlah pertanyaan strategis: Apakah DKJ bekerja hanya dalam ranah kesenian atau juga dalam lingkup kebudayaan yang lebih luas? Apakah DKJ harus menjadi pemikir strategis, atau sekadar operator kegiatan?

    Bagaimana relasi DKJ dengan generasi muda, apakah Gen-Z merasa bahwa DKJ relevan bagi mereka? Bagaimana posisi DKJ di antara lembaga lain seperti Akademi Jakarta, BLUD TIM, dan Dinas Kebudayaan?

    Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat diabaikan. Dalam teori kebijakan publik, isu-isu seperti ini termasuk dalam problem stream, yakni masalah nyata yang harus dipahami sebelum merumuskan kebijakan yang tepat.

    Isu lain yang tak kalah penting adalah mengenai posisi kesenian rakyat. Apakah DKJ perlu turut membina seni rakyat? Jika ya, bagaimana mekanismenya? Di berbagai kota besar dunia, seni rakyat menjadi inti kebijakan budaya agar kebudayaan tidak menjadi elitis.

    Selain itu, terdapat tantangan generation gap. Generasi muda hidup dalam budaya digital yang cair dan berbasis jejaring, bukan institusi formal. Tanpa jembatan strategis, DKJ berisiko kehilangan relevansinya di mata generasi baru.

    DKJ tidak boleh direduksi menjadi pelaksana kegiatan atau event organizer. Marwah DKJ adalah menjadi strategic thinker bagi wilayah kesenian bahkan kebudayaan di Jakarta. Pengerdilan peran hanya akan menjauhkan lembaga dari mandat utama.

    Proses-proses teknokratis seperti analisis kebutuhan, perencanaan, tata kelola, dan impact analysis adalah bagian dari good cultural governance. UNESCO poada tahun 2005 menegaskan bahwa keberlanjutan budaya mensyaratkan kebijakan dan strategi yang jelas, serta lembaga yang mampu menerapkan pengelolaan berbasis bukti (evidence-based cultural policy).

    Oleh karena itu, seniman dan budayawan perlu dilengkapi tidak hanya dengan kreativitas, tetapi juga kemampuan teknokratis agar perjalanan masa depan dapat dirancang secara terukur dan akuntabel.

    Seni adalah ruang imajinasi, tetapi institusi seni harus berpikir strategis. Setiap tantangan masa depan, teknologi, keberlanjutan, maupun pergeseran sosial, harus dijawab dengan strategi, bukan improvisasi.

    DKJ memiliki peluang besar untuk menjadi garda depan pemikiran budaya Jakarta. Namun hal itu hanya dapat terwujud jika DKJ menegaskan kembali mandatnya, memperkuat tata kelola, dan membuka diri terhadap perubahan zaman.

    Tantangan strategis membutuhkan jawaban strategis. Karena itu, tantangan dalam kesenian dan kebudayaan harus dijawab dengan pemikiran strategis yang dituangkan ke dalam perencanaan yang dapat diimplementasikan. Pengelolaan seni dan budaya pada dasarnya adalah pekerjaan teknokratis: memahami regulasi, membangun ekosistem, merancang kebijakan, dan memastikan tata kelola berjalan efektif.

    Dalam konteks ini, muncul pertanyaan menarik, apakah anggota DKJ idealnya adalah seniman? Jika yang dikelola adalah aspek strategis dan teknokratis, maka diperlukan sosok seniman yang tidak hanya kreatif, tetapi juga memiliki visi strategis dan kompetensi teknokratis. Mereka bertugas melayani para seniman dan masyarakat luas, bukan sekadar mewakili kepentingan personal atau kelompok.

    Pada akhirnya, kesenian dan kebudayaan bukan hanya urusan kreativitas, tetapi juga urusan visi, strategi, dan tata kelola. Tanpa perencanaan jangka panjang, tanpa kejelasan peran, dan tanpa respons terhadap perkembangan teknologi serta perubahan peradaban, kesenian berisiko kehilangan relevansinya.

    “Memikirkan masa depan kesenian melalui kerangka teknokratis sekaligus sensitivitas artistik adalah tugas penting bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya. DKJ, sebagai salah satu lembaga strategis, memiliki peran sentral untuk memastikan bahwa seni dan budaya Jakarta tidak hanya tumbuh, tetapi juga bertahan, berkembang, dan memberi makna bagi generasi kini dan mendatang,” pungkasnya. ***

    (L.Simanjuntak)

    Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta "Login Haramain" (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).

    Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.

    Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.

    Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.

    Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,

    Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

    Konten Populer

    • Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]

      Jul 02, 2025
    • Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]

      Apr 13, 2024
    • Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering.   Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]

      May 27, 2024
    •   oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]

      May 20, 2024
    • Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]

      Nov 14, 2021
    • DOWNLOAD DOKUMEN

      May 17, 2025
    • Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]

      Jun 06, 2021
    • Assalamu alaikum wr wb. Salam dari Arafah, Mekkah Al Mukarramah. Tahukah sahabat bahwa nama Sukarno sangat terkenal di Arafah? Ya, pohon yang di belakang saya itu disebut oleh orang sini sebagai Pohon Sukarno. Pohon Soekarno di Padang Arafah adalah warisan hijau yang berasal dari usulan Presiden Sukarno saat melaksanakan ibadah haji pada tahun 1955. Usulan […]

      May 27, 2025

    F R I E N D S


    RECENT EVENT

    Riri Satria tentang Bencana Alam Sumatera

    play-sharp-fill

    RECENT EVENT

    POJOK PODCAST

    KULBIZ SESI 1.3
    By BigThinkersID Host Pinpin Bhaktiar
    Kulbiz adalah tentang kuliah ilmu bisnis secara komprehensif, relevan dan asik 😁🥳🚀🔥
    video
    play-sharp-fill

    Podcast Selengkapnya klik disini...

    Hide picture