Riri Satria Lecturer - Researcher - Poetry & Coffee Lover
Disclaimer: kedua foto ini adalah hasil rekayasa aplikasi AI, dibuat semata untuk kepentingan edukasi, terima kasih banyak Mbak Nunung Noor El Niel serta Rissa Churria atas kesediannya menjadi sampel
Pada pandangan pertama, kedua dua foto ini tampak meyakinkan. Latar belakang Menara Eiffel di Paris yang romantik, dan Patung Liberty di New York yang ikonik. Wajah-wajah yang terlihat tenang, akrab, seolah sedang benar-benar menikmati momen perjalanan lintas benua. Riri Satria jalan-jalan ke Paris besama Nunung Noor El Niel? dan ke New York bersama Rissa Churria? Maka hebohlah netizen dunia penyair dengan gosip seru! Beneran kah ini?
Namun sesungguhnya, kedua foto tersebut adalah hasil rekayasa aplikai kecerdasan buatan atau AI. Tidak pernah ada kejadian nyata di baliknya. Tidak ada perjalanan ke Paris bersama Mbak Nunung Noor El Niel, dan tidak pula ada momen duduk santai di New York bersama Rissa Churria. Semua itu hanyalah imajinas atau khayalan visual yang diwujudkan oleh algoritma melalui rangkaian prompt.
Di sinilah kita dihadapkan pada sebuah kenyataan baru di mana foto tidak lagi identik dengan kebenaran. Jika dahulu foto dianggap sebagai bukti paling kuat dari sebuah peristiwa di mana ada pepatah “kamera tidak pernah berbohong”, maka hari ini anggapan itu runtuh, bahkan ambruk. Teknologi AI telah membuat sesuatu yang tidak pernah terjadi menjadi tampak sangat nyata. Begitu nyata hingga dapat menipu mata, perasaan, bahkan nalar kita.
Penting untuk digarisbawahi, ini baru foto. Kini teknologi yang sama mampu merekayasa video, suara, ekspresi, dan gerak tubuh dengan tingkat presisi yang semakin sulit dibedakan dari kenyataan. Deepfake bukan lagi istilah futuristik, melainkan bagian dari keseharian digital kita. Seseorang bisa “hadir” di tempat yang tak pernah ia datangi, mengucapkan kalimat yang tak pernah ia ucapkan, atau melakukan sesuatu yang sama sekali tidak pernah ia lakukan.
Maka, sikap kritis menjadi sebuah keniscayaan, bukan pilihan. Kita wajib bertanya setiap kali melihat gambar atau video yang mencolok, apakah ini kejadian nyata, atau hanya rekayasa imajinasi berbasis AI? Apakah ini dokumentasi fakta, atau sekadar konstruksi visual untuk tujuan tertentu seperti hiburan, pencitraan, manipulasi emosi, bahkan propaganda sekalian fitnah?
Masalahnya, banyak dari kita masih bereaksi terlalu cepat. Terpancing emosi. Langsung menghakimi. Marah, kagum, iri, atau mencaci, hanya karena sebuah visual yang lewat di linimasa. Padahal bisa jadi apa yang kita lihat sama sekali tidak pernah terjadi. Kita bereaksi terhadap sesuatu yang kosong atau hanya sebuah ilusi digital yang dirancang sangat rapi.
Inilah wajah post-truth society: sebuah zaman ketika batas antara kebenaran dan hoaks semakin tipis dan kabur. Fakta tak lagi berdiri kokoh; ia bersaing dengan emosi, persepsi, dan narasi yang terasa “lebih meyakinkan”. Dalam situasi seperti ini, kebenaran sering kali kalah oleh apa yang tampak menarik, dramatis, atau sensasional.
Ketika Imajinasi Disusun Menjadi “Kenyataan”
Dua foto itu pada mulanya hanyalah potongan-potongan visual yang terpisah. Sosok dari foto-foto yang berbeda, latar dari gambar yang berbeda, lalu semuanya disatukan oleh aplikasi AI. Dengan bantuan AI, fragmen-fragmen tersebut dirangkai sedemikian rupa hingga tampak sebagai satu peristiwa utuh dan rapi, meyakinkan, dan seolah benar-benar terjadi.
Melalui berbagai teknik rekayasa berbasis prompting, hampir semua elemen visual bisa diatur sesuai keinginan. Pakaian dapat diganti, warna dan model disesuaikan. Latar belakang bisa dipindahkan dari ruang biasa ke kota-kota ikonik dunia. Artefak kecil seperti gelas kopi, meja, atau pemandangan senja pun dapat “diciptakan”. Bahkan gestur manusia seperti merangkul, bersandar, atau berpelukan bisa direkayasa agar tampak natural dan penuh keakraban.
Namun, di balik visual yang tampak nyata itu, tidak ada peristiwa sesungguhnya. Tidak pernah ada momen, tidak ada perjumpaan, tidak ada kejadian seperti yang ditampilkan. Semua hanyalah konstruksi imajinasi yang dibentuk oleh algoritma, bukan rekaman realitas. Foto-foto tersebut adalah fake, hanya sebuah ilusi digital yang berpotensi menjadi hoaks jika diterima tanpa sikap kritis.
Di era AI, kenyataan bisa disimulasikan dengan sangat halus. Karena itu, kemampuan untuk membedakan antara yang nyata dan yang direkayasa menjadi semakin penting. Foto tak lagi cukup dijadikan bukti. Kita perlu kewaspadaan, nalar, dan kesadaran bahwa tidak semua yang tampak meyakinkan itu benar-benar pernah terjadi.
Mari Bersikap Kritis dan Tetap Bernalar Cerdas Digital
Dua foto ini sengaja dihadirkan bukan untuk menipu, melainkan untuk mengingatkan atau hanya untuk kepentingan edukasi. Bahwa di era AI, mata saja tidak cukup. Perasaan saja tidak cukup. Kita membutuhkan literasi digital, kejernihan berpikir, dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa tidak semua yang terlihat itu nyata. What you see is not alway sthe reality.
Kritis bukan berarti sinis, dan waspada bukan berarti paranoid. Kritis berarti memberi jeda sebelum percaya. Memberi jarak sebelum menghakimi. Memberi ruang bagi akal sehat untuk bekerja. Karena di zaman ketika imajinasi bisa tampil lebih nyata daripada realitas, sikap kritislah yang menjadi jangkar kita agar tidak hanyut di lautan ilusi.
Kalau begitu menurut Anda foto-foto RK dan AK yang lagi liburan ke AS dan beredar di internet itu beneran atau fake (hoax)?
Salam - Riri Satria
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta “Login Haramain” (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).
Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.
Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.
Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.
Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,
Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta "Login Haramain" (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).
Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.
Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.
Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.
Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,
Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]
Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering. Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]
oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]
Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]
Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]
Assalamu alaikum wr wb. Salam dari Arafah, Mekkah Al Mukarramah. Tahukah sahabat bahwa nama Sukarno sangat terkenal di Arafah? Ya, pohon yang di belakang saya itu disebut oleh orang sini sebagai Pohon Sukarno. Pohon Soekarno di Padang Arafah adalah warisan hijau yang berasal dari usulan Presiden Sukarno saat melaksanakan ibadah haji pada tahun 1955. Usulan […]
Riri Satria tentang Bencana Alam Sumatera