Riri Satria
KATEGORI
  • Terkini
  • Dokumen
  • Teknologi & Transformasi Digital
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Sastra (Puisi dan Esai)
  • Apa Kata Media?
  • Apa Kata Sahabat?
  • Pertemuan Penyair Nusantara Angkat Isu Akal Imitasi

    16 Sep 2025 | Dilihat: 64 kali
    Pertemuan Penyair Nusantara XIII tahun 2025 mengangkat sejumlah isu. Salah satunya akal imitasi atau AI yang sudah merambah ke puisi.

    7 September 2025 | 14.54 WIB

    Diskusi menjelang Pertemuan Penyair Nusantara XIII di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 September 2025. Dari kiri: Maman S. Mahayana, Riri Satria, Mustafa Ismail, Imam Maarif, dan Fikar W. Eda. Dok. Panitia PPN XIII

    PERTEMUAN Penyair Nusantara (PPN) XIII tahun ini akan mengangkat sejumlah isu. Salah satunya akal imitasi atau AI yang penggunaannya sudah merambah ke penciptaan puisi. “Kami ingin membuka perspektif tentang tantangan puisi di era kecerdasan artifisial, isu yang kian krusial dan tak bisa diabaikan. Di PPN XIII, teknologi disikapi sebagai tantangan untuk memperdalam imajinasi, bukan penghalang inspirasi,” kata Wakil Ketua Panitia PPN XIII Mustafa Ismail dalam siaran pers pada Sabtu, 6 September 2025.

    Isu tersebut juga mencuat dalam diskusi “Menuju PPN XIII: Diskusi Publik Penyair Asia Tenggara dan Pentas Puisi” di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Sabtu, 6 September 2025. Diskusi ini menghadirkan pembicara Riri Satria, Ketua Jagat Sastra Milenia; Maman S. Mahayana, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia; Ahmadun Y. Herfanda, Pemimpin Redaksi Portal Sastra Litera; Imam Ma’arif, anggota Komisi Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta; dan Mustafa Ismail. Diskusi dipandu moderator Fikar W. Eda dan pewara Rintis Mulya.

    Riri Satria menyoroti tantangan yang dihadapi sastra dari merebaknya penggunaan akal imitasi atau AI. Meskipun demikian, “Puisi masih tetap diperlukan di masa depan, di tengah perkembangan kecerdasan buatan,” kata penyair kelahiran Padang, Sumatera Barat pada 1970 ini.

    Riri menilai matematika, algoritma, dan program komputer memiliki satu kesamaan dengan puisi, yakni sama-sama merepresentasikan fenomena yang kompleks dengan simbol-simbol yang sederhana. Ketika menghadapi perkembangan AI, menurutnya, puisi tidak akan mati tapi justru akan berevolusi mengikuti perkembangan zaman. Salah satu hal yang menonjol adalah keterlibatan AI dalam menciptakan karya sastra. AI mampu merangkai kata indah, meski ia sendiri tidak pernah merasakan keindahan itu. Konsep ini disebut metaestetika, yaitu keindahan yang lahir dari mesin tetapi tetap diarahkan oleh manusia.

    Riri menuturkan bahwa puisi di masa depan juga akan bertransformasi menjadi jejaring luas melalui Internet. Bentuk hypertext poetry, misalnya, memungkinkan satu teks menjelaskan teks lain dan menciptakan jaringan puisi global. Dengan Internet pula, karya bisa menyebar hanya dalam hitungan detik ke seluruh penjuru dunia. “Puisi masih relevan justru karena teknologi membuatnya dapat diakses, diterjemahkan, dan didiskusikan secara real time oleh orang-orang di berbagai belahan dunia,” kata dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia ini.

    Puisi tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi keindahan, tetapi juga sebagai penjaga peradaban. Riri mengutip pandangan John Naisbitt dalam buku High Tech/High Touch, bahwa semakin tinggi teknologi, semakin dibutuhkan sentuhan kemanusiaan. Dalam konteks ini, puisi hadir sebagai pengimbang yang memberi ruang bagi refleksi, empati, dan makna di tengah derasnya arus digitalisasi.

    Maman S. Mahayana menyoroti pentingnya kesinambungan riset dan dokumentasi sastra agar jejak perkembangan puisi Nusantara tidak tercerabut dari konteks sejarah. “PPN menjadi salah satu cara membumikan pemakaian bahasa Indonesia di kawasan Asia Tenggara,” kata kurator PPN XIII ini.

    Ketua Panitia PPN XIII Ahmadun Y. Herfanda membicarakan gerak tematik puisi Indonesia yang kian merentang dari persoalan ekologis sampai diplomasi kebudayaan. “PPN bukan sekadar ajang mempererat persaudaraan melalui puisi. Ia bisa memberi arti lebih dari itu, yakni menjadi wadah yang relevan dengan zamannya, sekaligus warisan kultural yang terus hidup,” kata dia. Adapun Imam Ma’arif menekankan kapasitas puisi sebagai alat perenungan sosial, yang mengolah trauma kolektif sekaligus merawat empati di tengah polarisasi.

     

    Pelaksanaan PPN XIII

    PPN XIII akan berlangsung selama 11–14 September 2025 dengan tema “Jakarta: Kota Sastra - Kota Global” di sejumlah lokasi di Jakarta. Forum ini mempertemukan para penyair lintas generasi dan peneliti sastra untuk mengulas peta puisi mutakhir Asia Tenggara dan membuka panggung bagi karya-karya terbaru. “Di malam pembuka akan kami gelar di sebuah ruang budaya Betawi yang menjadi gerbang pertemuan para penyair. Hari berikutnya seminar berlangsung sejak pagi hingga sore, disambung lokakarya dan panggung anak muda sebagai ruang regenerasi,” kata Mustafa.

    Rangkaian hari ketiga akan bergeser ke Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Di sana, peserta diajak menilik khazanah naskah dan arsip dan dilanjutkan pembacaan puisi, orasi literasi oleh Kepala Perpusnas, dan kuliah umum Riri Satria. Sesi ini diharapkan menghadirkan perenungan baru tentang masa depan puisi, terutama ketika ekosistem kreatif bersentuhan dengan teknologi.

    Persiapan pertemuan ini telah dimulai sejak akhir 2023. Jakarta dipilih sebagai tempat penyelenggaraan bukan hanya karena kelengkapan infrastruktur budaya, tetapi juga posisinya sebagai kota literasi yang diakui di tingkat internasional. Momentum ini diolah panitia sebagai landasan untuk memperluas dampak PPN, yang tak semata seremoni tahunan, melainkan kerja kolaboratif yang menyambungkan komunitas-komunitas sastra di Jakarta Pusat, Barat, Selatan, Timur, dan Utara. Jejaring seperti Lingkar Sastra, SGT, dan berbagai ruang kreatif mandiri akan dilibatkan dalam panggung terbuka, kelas menulis, dan tur sastra.

    Selain forum diskusi dan panggung pembacaan puisi, PPN akan menghadirkan lokakarya tematik bagi penulis muda, yang berfokus pada penulisan puisi, pengelolaan komunitas, dan strategi publikasi. Panitia juga menyiapkan “panggung besar” yang mempresentasikan kolaborasi lintas negara yang memadukan musik, terjemahan, dan performans.

    Dari sisi kuratorial, program menempatkan pilihan tema sebagai jangkar, yakni Timur-Barat, tanah air dan diaspora, serta isu perdamaian di kawasan. Dengan rancangan ini, diharapkan penyair dapat menyodorkan wacana yang membuat publik “membaca ulang” peristiwa geopolitik melalui puisi.

    Penekanan pada perdamaian muncul bukan tanpa alasan. Sejumlah pengalaman diplomasi budaya menunjukkan bahwa karya sastra mampu membuka ruang dialog ketika saluran resmi mengalami kebuntuan. PPN ini hendak menjadikan puisi sebagai ruang temu di tengah perbedaan.

    Panitia menggarisbawahi dinamika pendanaan dan logistik yang kerap naik-turun. Meskipun demikian, kolaborasi dengan berbagai pihak—lembaga kebudayaan, komunitas akar rumput, dan para relawan—membuat PPN dapat terus terus berlanjut.

    Tahun ini adalah tahun ke-13. Pertemuan besar penyair ini digagas pada 2007 di Medan. Saat itu, sekitar 50 penyair dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand berkumpul atas prakarsa Laboratorium Sastra Medan. Dari pertemuan inilah lahir tekad untuk menjadikan puisi sebagai pengikat persaudaraan antarbangsa.

    Sejak awal PPN dimaksudkan tidak hanya sebagai ajang silaturahmi penyair, tetapi juga forum untuk saling mengenali, memahami, dan mengapresiasi perkembangan perpuisian di kawasan Asia Tenggara. Kesepakatan bersejarah pun ditandatangani oleh antara lain Mohamad Saleeh Rahamad dan S.M. Zakir (PENA Malaysia), Viddy A.D. Daery dan Ahmadun Y. Herfanda (KSI Indonesia), Afrion (Laboratorium Sastra Medan), Zefri Ariff (Asterawani Brunei Darussalam), Nik Rakib bin Nik Hassan (Nusantara Studies Thailand), serta Djamal Tukimin (Asas 50 Singapura).

    Dari Medan, perjalanan PPN terus berlanjut ke berbagai kota dan negara, seperti Kediri, Brunei Darussalam, Kuala Lumpur, Palembang, Jambi, Singapura, Thailand, Tanjung Pinang, Banten, Kudus, hingga Kuala Lumpur. Tahun ini Jakarta dipercaya menjadi tuan rumah.

    Salah satu tonggak penting terjadi di Kuala Lumpur ketika istilah Pesta Penyair Nusantara diganti menjadi Pertemuan Penyair Nusantara. Alasannya, kegiatan ini diharapkan tidak hanya dipandang sebagai ajang seremonial, melainkan forum yang lebih bermakna.

    “Setiap PPN selalu melahirkan antologi puisi bersama yang jika dikumpulkan akan membentuk peta perkembangan perpuisian di lima negara serumpun,” kata Ahmadun. “PPN juga menghasilkan banyak makalah dan pemikiran sastra yang sayang sekali belum dibukukan.”

    Ahmadun menambahkan, ke depan PPN perlu lebih kreatif dengan agenda yang segar, termasuk rencana penerbitan antologi pilihan 19 tahun PPN dan kumpulan makalah penting dari PPN I hingga XIII. Selain itu, kata dia, pernah pula muncul gagasan penghargaan sastra versi PPN, termasuk Anugerah Penyair Nusantara, yang sempat direkomendasikan tapi belum direalisasikan secara konsisten.

    “PPN bukan sekadar ajang mempererat persaudaraan melalui puisi. Ia bisa memberi arti lebih dari itu, yakni menjadi wadah yang relevan dengan zamannya sekaligus warisan kultural yang terus hidup,” ujar Ahmadun.

     

    Kurasi Antologi Puisi

    Seperti pertemuan sebelumnya, PPN XIII juga akan menerbitkan antologi puisi para peserta. Maman S. Mahayana, kurator antologi tersebut, menekankan bahwa ketika menilai sebuah karya, yang harus dilihat bukanlah siapa penulisnya, melainkan bagaimana kualitas karyanya. “Ada yang bertanya, siapa anak muda yang karyanya masuk? Jawabannya ada di karya itu sendiri,” kata dia.

    Pertimbangan utama dalam penilaian, kata Maman, adalah kesesuaian dengan tema. Setelah itu, barulah hal-hal lain. Semangatnya adalah semangat persebaran dan pemerataan. Maka, kriteria pertama adalah kebaruan karya, yakni sejauh mana karya itu menghadirkan sesuatu yang baru, segar, dan layak dibicarakan.

    Menurut Maman, tentu saja ada unsur subjektivitas dalam pemilihan tersebut tapi tim kurator harus bisa mempertanggungjawabkan pilihannya. “Kalau ada yang ingin berdebat, silakan, bahkan sampai malam pun kami siap, karena dasar penilaiannya jelas, bukan sekadar suka atau tidak suka. Kami tidak bisa asal memilih, apalagi hanya berdasarkan perasaan pribadi,” kata dia.

    Kalau puisinya memang bagus, kata Maman, maka harus diakui bagus. Jangan sampai sikap pribadi menutup mata terhadap mutu karya. Jadi, objek pertama yang tim nilai adalah karya itu sendiri. Hal-hal lain menyusul kemudian.

    Maman berharap, melalui kegiatan ini, semua penulis merasa damai dan bersaudara, bukan hanya dalam karyanya, tetapi juga dalam sikap hidupnya. “Jangan sampai puisinya berbicara tentang perdamaian tetapi penulisnya justru hidup dengan penuh pertentangan. Itu berbahaya. Maka, politik bahasa juga ikut berperan di sini.”

     

    Sumber : TEMPO.CO

    Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusatraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), serta “Metaverse” (2022), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023). Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), serta Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025). Sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024  s/d September 2025, sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia. Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

    Konten Populer

    • Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]

      Jul 02, 2025
    • Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]

      Apr 13, 2024
    • Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering.   Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]

      May 27, 2024
    •   oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]

      May 20, 2024
    • Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]

      Nov 14, 2021
    • DOWNLOAD DOKUMEN

      May 17, 2025
    • Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]

      Jun 06, 2021
    • Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya. “Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait […]

      May 03, 2024

    DIRGAHAYU JAGAT SASTRA MILENIA (JSM) 10 Oktober 2020 - 2025

    POJOK PODCAST

    KULBIZ SESI 1.3
    By BigThinkersID Host Pinpin Bhaktiar
    Kulbiz adalah tentang kuliah ilmu bisnis secara komprehensif, relevan dan asik 😁🥳🚀🔥
    video
    play-sharp-fill

    Podcast Selengkapnya klik disini...

    RECENT EVENT


    NEXT EVENT

    Hide picture