Riri Satria Lecturer - Researcher - Poetry & Coffee Lover
Acara Refleksi Kebudayaan 2024: Ketahanan Budaya yang diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Jakarta Timur (KSJT) dengan dukungan Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Timur berlangsung penuh makna. Diskusi ini menghadirkan dua narasumber untuk menggali perspektif baru tentang ketahanan budaya atau cultural resilience di tengah tantangan zaman.
Salah satu narasumber kegiatan yang berlangsung di PPSB Kisam Djiun Jakarta Timur, Sabtu (14/12) ini, Bang Riri Satria, memberikan pandangan mendalam tentang bagaimana budaya seharusnya dimaknai dalam konteks yang lebih luas.
Menurut Bang Riri, budaya dalam makna sempit seringkali hanya dilihat sebagai produk artefak. “Budaya dalam makna sempit hanya sekadar merupakan produk kasat mata, misalnya lukisan, tarian, musik, karya arsitektur, kuliner, pakaian, dan karya sastra, yang hanya menjadi tontonan.” jelasnya. Namun, ia menegaskan bahwa budaya yang hanya dipahami sebagai tontonan semata tidak mencukupi untuk memperkuat ketahanan budaya secara menyeluruh.
Budaya sebagai Way of Life
Bang Riri Satria menekankan pentingnya memahami budaya dalam makna yang lebih luas, yakni sebagai way of life. “Budaya itu adalah way of life berada pada tatanan yang lebih tinggi, yaitu mindset atau paradigma, yang diwujudkan dalam perilaku atau behavior,” ujarnya. Dalam pandangan ini, budaya bukan sekadar artefak, melainkan tuntunan yang mencerminkan cara hidup suatu masyarakat.
Ia menambahkan, “Jika kita memaknai budaya seperti ini, maka budaya itu tidak hanya produk yang menjadi tontonan, melainkan way of life yang menjadi tuntunan. Inilah yang harus diperkuat melalui berbagai strategi dan aktivitas ketahanan budaya.”
Pandangan ini menggarisbawahi perlunya transformasi dalam cara masyarakat memandang budaya, dari sekadar kekaguman pada warisan fisik menuju penerapan nilai-nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai literatur memberikan definisi terhadap ketahanan budaya ini. Salah satu definisi: “cultural resilience refers to a culture’s capacity to maintain and develop cultural identity and critical cultural knowledge and practices. Despite challenges and difficulties, a resilient culture is capable of maintaining and developing itself.”
Dengan demikian, ketahanan budaya itu menjadi dasar untuk menaga identitas bangsa supaya tidak krisis identitas. Krisis identitas pada ujungnya akan membawa nasib buruk kepada sebuah bangsa.
Ketahanan Budaya di Tengah Arus Globalisasi
Bang Riri Satria menelaskan bawa “Perkembangan peradaban yang dipicu oleh teknologi digital, teknologi siber, serta perkembangan masih dari AI, blockchain, dan sebagainya, tentu akan membawa banyak perubahan atau disruption dalam kehidupan, namun seperti yang dikatakan futurolog terkenal John Naisbitt, kita perlu menerapkan prinsip high tech, high (human) touch. Kebudayaan mengawal perkembangan peradaban yang dipicu sains dan teknologi.”
Diskusi ini menjadi refleksi penting di tengah arus globalisasi yang kerap mengikis identitas budaya lokal. Ketahanan budaya atau cultural resilience bukan hanya soal melestarikan warisan budaya, tetapi juga mengadaptasi nilai-nilai lokal agar relevan dengan tantangan zaman.
Melalui acara ini, KSJT dan Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Timur berharap masyarakat semakin menyadari peran budaya sebagai pilar kehidupan yang harus dijaga dan diperkuat.
“Budaya bukan sekadar warisan, tetapi harus menjadi pedoman hidup kita untuk masa depan. Para budayawan, termasuk para seniman, adalah mereka yang dibutuhkan oleh negara untuk menjaga ketahanan budaya. Demikian pula para sastrawan, ada hadiah Nobel untuk Kesusasteraan, yang memberikan sinyal betapa pentingnya sastra sebagai pengawal peradaban dalam semua tingkatan. Bahkan dalam agama Islam, posisi penyair itu menarik, karena merupakan satu-satunya profesi yang dijadikan nama surat dalam Kitab Suci al-Quran” ungkap Riri.
Refleksi Kebudayaan 2024 menjadi pengingat bahwa budaya adalah kekuatan yang mengakar, dan dengan memperkuat pemahaman tentang budaya sebagai way of life, masyarakat dapat menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan identitasnya.
“Indonesia adalah sebuah rumah besar bersama buat kita, yang bersama kita jaga ketahanannya, tanpa perlu menyembunyikan identitas atau warna kita masing-masing dalam bingkai besar budaya Indonesia itu” demikian Bang Riri menyampaikan closing statement pada acara diskusi tersebut.
(Rissa Churria)
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 10 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, 1 buku Pedoman Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa, 1 buku Esai, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusatraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), serta “Metaverse” (2022), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023). Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), serta Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025). Sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025, sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia. Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]
Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering. Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]
oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]
Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]
Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]
Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya. “Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait […]