Riri Satria Lecturer - Researcher - Poetry & Coffee Lover
Ada masa dahulu ketika melihat sebuah foto saya percaya bahwa itu memang benar, yang ditampilkan oleh foto tersebut memang benar terjadi. Percaya bahwa apa yang terekam di sana adalah kenyataan. Percaya bahwa kamera, betapapun terbatasnya, masih menyisakan kejujuran.
Hari ini, perasaan itu perlahan menghilang, bahkan mungkin sudah ambruk. Saya menatap layar dengan curiga. Setiap foto dan video yang lewa saya tanyai dalam hati, apakah ini nyata atau hanya hasil rekayasa?
Perubahan itu tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh seiring hadirnya teknologi bernama deepfake, sebuah kemampuan kecerdasan buatan atau AI untuk memalsukan wajah, suara, gestur, bahkan emosi manusia secara nyaris sempurna. Disrupsi atau guncangan bukan hanya teknologi visual, tetapi fondasi kepercayaan sosial yang selama ini kita bangun diam-diam yang bernama peradaban.
Deepfake dan Lahirnya Keraguan Kolektif
Secara teknis, deepfake adalah produk kemajuan deep learning, khususnya Generative Adversarial Networks (GANs), yang bekerja dengan cara meniru pola. Mesin belajar dari ribuan bahkan jutaan data wajah, suara, dan ekspresi manusia. Ia tidak memahami makna, apalagi niat. Ia hanya mengejar kemiripan.
Masalahnya, dalam kehidupan sosial, kemiripan sering kita anggap sebagai kebenaran. Ini persoalannya utamanya!
Di titik ini, deepfake bukan lagi sekadar persoalan manipulasi visual atau audio. Ia menjadi mesin produksi keraguan. Ketika segala sesuatu bisa dipalsukan, maka segala sesuatu pun layak diragukan. Termasuk kebenaran itu sendiri. Jadi perkembangan teknologi tidak hanya memberikan kepastian dalam analisis, melainkan juga memproduksi keraguan pada peradaban.
Post-Truth Society: Ketika Fakta Kehilangan Daya Tarik
Fenomena deepfake menemukan lahan suburnya dalam apa yang disebut sebagai post-truth society. Istilah ini menjadi populer sejak 2016, ketika Oxford Dictionaries menetapkannya sebagai Word of the Year. Post-truth merujuk pada kondisi ketika fakta objektif kalah pengaruh dibanding emosi dan keyakinan personal dalam membentuk opini publik. Ringkasnya faka kalah dari opini, atau opini bisa menolak fakta!
Dalam post-truth sociey, kebenaran tidak lagi ditolak secara frontal. Ia hanya diabaikan. Fakta dianggap terlalu rumit, terlalu lambat, dan terlalu tidak memuaskan emosi. Yang dicari bukan lagi “apa yang benar”, melainkan “apa yang terasa benar”.
Deepfake bekerja sangat baik dalam logika ini. Ia tidak memerlukan pembuktian. Ia cukup menyentuh perasaan, menguatkan prasangka, dan tampil meyakinkan. Dalam dunia post-truth, meyakinkan sering kali lebih penting daripada benar.
Teknologi Tanpa Etika: Mesin yang Tidak Mengenal Dosa
Kate Crawford dalam buku Atlas of AI (2021) mengingatkan bahwa AI bukanlah entitas netral. AI adalah sistem yang dibangun dari data, kepentingan, dan struktur kekuasaan. Ia tidak memiliki kesadaran moral. Ia tidak tahu mana yang adil atau kejam. AI tidak bertanya apakah ini kebohongan? AI hanya bertanya apakah ini efektif?
Deepfake adalah contoh paling telanjang dari teknologi yang kehilangan pagar etis. Ia memperlihatkan bahwa masalah utama kita bukan pada kecanggihan mesin, tetapi pada ketiadaan nilai yang mengawalnya.
Kebohongan Algoritmik dan Ekonomi Atensi
Masalah ini menjadi jauh lebih serius ketika deepfake bertemu dengan algoritma media sosial. Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019) menjelaskan bahwa platform digital hidup dari ekonomi atensi. Yang paling bernilai bukan kebenaran, melainkan perhatian pengguna.
Algoritma tidak dirancang untuk membedakan fakta dan kebohongan. Ia hanya mengukur mana yang paling banyak diklik, mana yang paling lama ditonton, serta mana yang paling memicu reaksi
Inilah yang dapat kita sebut sebagai kebohongan algoritmi yaitu kebohongan yang tidak selalu dirancang oleh satu aktor jahat, tetapi diperkuat oleh sistem. Deepfake yang mengejutkan akan lebih cepat viral daripada klarifikasi yang sunyi. Narasi palsu yang emosional akan lebih disukai dibanding fakta yang tenang. Dalam sistem seperti ini, kebenaran tidak kalah karena salah, tetapi karena tidak menarik.
Dampak Sosial: Ketika Semua Menjadi Tidak Pasti
Satu hal yang paling terasa dari era deepfake adalah erosi kepercayaan. Kita mulai ragu pada korban, ragu pada saksi, bahkan ragu pada diri sendiri. Hannah Arendt pernah menulis bahwa kebohongan massal bukan hanya menipu, tetapi menghancurkan kemampuan manusia untuk memahami realitas (The Origins of Totalitarianism).
Hari ini, kita menyaksikan dampaknya, di mana terjadi polarisasi sosial yang makin tajam, delegitimasi media dan institusi, era unculnya sikap sinis: “Semua juga bohong.”
Ironisnya, ketika semua hal diragukan, yang bertahan bukan kebenaran, melainkan kekuasaan atas narasi. Siapa yang paling keras, paling viral, dan paling konsisten mengulang kebohongan, dialah yang sering dipercaya.
Sebagai individu, saya merasakan kelelahan yang aneh. Kelelahan untuk terus waspada. Kelelahan untuk memeriksa ulang. Kelelahan untuk menjelaskan bahwa tidak semua yang terlihat itu nyata.
Namun yang paling menyedihkan adalah melihat bagaimana sebagian orang tidak lagi ingin tahu. Mereka tidak mencari kebenaran, melainkan pembenaran. Deepfake, dalam konteks ini, hanyalah alat. Masalah sesungguhnya adalah hasrat manusia untuk percaya pada kebohongan yang menguntungkan dirinya.
Deepfake dan Kerentanan Sosial Kita
Indonesia adalah masyarakat yang sangat visual dan naratif. Kita percaya pada cerita, pada figur, pada wajah. Budaya lisan dan budaya komunal membuat kita terbiasa mempercayai apa yang disampaikan oleh orang yang tampak “berwibawa” atau “dikenal”. Dalam konteks ini, deepfake menjadi sangat berbahaya.
Deepfake bukan sekadar memalsukan wajah atau suara. Ia meminjam kepercayaan sosial yang telah lama kita bangun. Ketika wajah pejabat, tokoh agama, atau figur publik direkayasa untuk mengatakan sesuatu yang tidak pernah ia ucapkan, yang diserang bukan hanya individu itu, tetapi jaringan kepercayaan masyarakat.
Dari Hoaks ke Tiruan yang Nyaris Sempurna
Jika dulu kita masih bisa berkata, “Ah, itu hoaks murahan,” kini batas itu menjadi kabur. Deepfake bekerja dengan presisi. Gerak bibir sinkron. Ekspresi wajah masuk akal. Intonasi suara meyakinkan. Kita tidak lagi berhadapan dengan kebohongan kasar, tetapi dengan kepalsuan yang elegan!
Di Indonesia, deepfake mulai muncul dalam berbagai bentuk penipuan yang mengatasnamakan pejabat atau tokoh terkenal, video palsu yang memancing donasi, investasi, atau transfer uang, serta potongan visual yang memicu kemarahan politik dan polarisasi sosial
Smua itu menjad sangat efektif adalah satu hal yaiu emosi. Deepfake jarang bermain di wilayah rasional. Ia langsung menyentuh rasa takut, harapan, kemarahan, atau rasa hormat.
Post-Truth ala Indonesia
Di Indonesia, post-truth tidak selalu tampil dalam bentuk ideologis yang kaku, tetapi sering hadir sebagai percakapan sehari-hari di media sosial.
Pertanyaan yang muncul bukan lagi, “Apakah ini benar?”, melainkan, “Siapa yang ngomong?”, “Dari grup mana ini?”, seera “Sesuai nggak dengan keyakinan saya?”
Ketika deepfake masuk ke ruang ini, ia menemukan rumah yang hangat. Ia tidak perlu benar. Ia hanya perlu selaras dengan emosi kolektif.
Algoritma dan Penyebaran Tanpa Nurani
Masalahnya tidak berhenti pada teknologi deepfake itu sendiri. Media sosial mempercepat segalanya. Algoritma bekerja tanpa empati, tanpa etika, tanpa kepedulian pada dampak sosial. Konten yang memicu reaksi akan dipromosikan, tak peduli apakah itu hasil rekayasa atau fakta.
Di sinilah kebohongan menjadi sistemik. Bukan lagi soal siapa yang berbohong, tetapi bagaimana sistem memberi panggung pada kebohongan. Dalam konteks Indonesia sebagai negara pengguna media sosial yang sangat besar, efeknya berlipat ganda.
Dampak yang Sunyi tapi Dalam
Sesuau yang paling terasa dari kehadiran deepfake adalah erosi kepercayaan. Kita mulai ragu pada video. Ragu pada suara. Bahkan ragu pada klarifikasi. Ketika seseorang berkata, “Itu bukan saya,” publik bisa dengan mudah menjawab, “Ah, alasan.”
Hannah Arendt pernah mengingatkan bahwa kebohongan massal tidak hanya menipu, tetapi menghancurkan kemampuan manusia untuk membedakan realitas. Di Indonesia hari ini, kita mulai melihat gejalanya:
Diskusi yang cepat berubah menjadi tuduhan, kepercayaan sosial yang terkikis pelan-pelan, lalu yang tersisa sering kali bukan kebenaran, tetapi siapa yang paling keras dan paling viral.
Merawat Kebenaran di Dunia Tiruan
Diperkirakan Indonesia akan mengalami perang deepfake atau deepfake war antar sesama kita yang semakin canggih pada tahun 2029 atau menjelangnya, ketika Pemilu dilaksanakan. Mari kita cerdas menyikapi ini dari sekarang, tidak mudah terpancing, tidak mudah terprovokasi, tidak mudah emosi, apalagi sampai ribut dan terpecah-belah ketika menghadapi badai deepfake ini
Deepfake tidak bisa dihadapi hanya dengan teknologi pendeteksi atau regulasi hukum, meskipun keduanya penting. Namun jauh lebih penting adalah sikap kultural, kesediaan untuk bersabar pada fakta, meragukan emosi sendiri, dan menunda penghakiman.
Di dunia yang semakin lihai meniru realitas, mungkin tindakan paling radikal hari ini adalah memilih jujur, meski tidak populer; memilih pelan, meski tertinggal; dan memilih peduli pada kebenaran, meski melelahkan.
Karena ketika kebenaran benar-benar ditinggalkan, yang runtuh bukan hanya fakta, melainkan makna menjadi manusia itu sendiri.
- RS - Des 2025
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta “Login Haramain” (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).
Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.
Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.
Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.
Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,
Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta "Login Haramain" (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).
Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.
Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.
Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.
Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,
Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]
Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering. Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]
oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]
Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]
Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]
Assalamu alaikum wr wb. Salam dari Arafah, Mekkah Al Mukarramah. Tahukah sahabat bahwa nama Sukarno sangat terkenal di Arafah? Ya, pohon yang di belakang saya itu disebut oleh orang sini sebagai Pohon Sukarno. Pohon Soekarno di Padang Arafah adalah warisan hijau yang berasal dari usulan Presiden Sukarno saat melaksanakan ibadah haji pada tahun 1955. Usulan […]
Riri Satria tentang Bencana Alam Sumatera