Riri Satria Lecturer - Researcher - Poetry & Coffee Lover
Ada satu pengakuan yang jarang diucapkan dengan jujur di ruang publik yaitu hampir semua orang pernah nyaris tertipu di internet. Jika belum, mungkin hanya soal waktu. Kita gemar percaya bahwa korban penipuan adalah mereka yang ceroboh, kurang cerdas, atau tak cukup terdidik. Keyakinan itu nyaman, tetapi keliru.
Kenyataannya yang tertipu sering kali adalah orang-orang yang tampak baik-baik saja, rasional, bahkan terdidik. Termasuk kita. Ini sangat mengusik bukan?
Internet hadir dalam hidup kita dengan janji efisiensi. Ia memangkas jarak, mempercepat urusan, dan menawarkan dunia yang terasa lebih ringkas. Namun dalam kecepatan itu, ada sesuatu yang ikut tergerus, yaitu cara manusia membangun kepercayaan. Kita dipaksa beradaptasi dengan ruang sosial baru yang dingin, anonim, dan nyaris tanpa isyarat kemanusiaan. Kita lebih sering berinteraksi dengan mesin dan akan terus semakin sering.
Di dunia nyata berupa interaksi langsung antar manusia, kepercayaan tumbuh perlahan. Kita membaca wajah, menangkap getar suara, merasakan jeda sebelum sebuah jawaban. Ada naluri halus yang bekerja diam-diam. Di internet, semua itu menguap dan yang tersisa hanyalah teks, gambar, dan simbol-simbol yang tampak rapi.
Pikiran kita yang tadinya berevolusi untuk kehidupan fisik dipaksa bekerja dengan potongan informasi yang timpang bahkan misterius. Maka ia menebak dan sering kali tebakan itu salah.
Masalahnya, manusia memang ingin percaya atau positive thinking. Dalam kehidupan sosial, percaya adalah jalan paling hemat energi. Terlalu curiga melelahkan, terlalu waspada membuat hidup kaku. Karena itu, ketika sebuah pesan datang dengan bahasa sopan, logo familiar, atau narasi yang terasa masuk akal, kita cenderung mengendurkan pertahanan. Kita berkata dalam hati barangkali ini aman. Padahal belum tentu demikian. Kita mengalami penuruan insting.
Ini mirip dengan orang yang sedang jatuh cinta, bahkan manusia yang sangat pintar pun bisa menjadi "bodoh".
Penipuan digital memahami psikologi ini dengan presisi nyaris sama. Mereka tidak menyerang logika terlebih dahulu, melainkan mereka menyasar emosi kita selaku manusia. Ketakutan adalah pintu masuk paling efektif. “Akun Anda bermasalah.” “Data Anda bocor.” Dalam sekejap, jantung berdegup lebih cepat. Pikiran menyempit. Rasionalitas mundur selangkah. Lalu panik dan uring-uringan.
Kebalikan dengan itu, menawarkan harapan pun tak kalah ampuh. Tawaran yang terasa langka, kesempatan yang tampak seperti jawaban atas penantian panjang. Pada saat itu, kita tidak sedang berpikir; kita sedang berharap, dan betapapun indahnya adalah kondisi paling rapuh untuk mengambil keputusan.
Ada pula kebutuhan purba untuk diakui. Pesan yang terlalu ramah, perhatian yang terasa personal, pujian yang datang tanpa diminta. Di dunia yang makin sibuk dan acuh, kehangatan digital walaupun artifisial, bisa terasa menjadi nyata. Kita lupa bahwa empati bisa dipalsukan, dan kedekatan bisa direkayasa.
Internet juga menumbuhkan ilusi urgensi. Segalanya harus cepat alias sekarang, hari ini, sebelum terlambat. Kita didorong untuk bereaksi, bukan merenung. Padahal waktu adalah musuh utama penipuan. Sedikit jeda sering kali cukup untuk menyelamatkan kita.
Justru yang jarang disadari ternyata kecerdasan tidak selalu menjadi tameng. Orang-orang cerdas kerap memiliki kepercayaan diri tinggi pada penilaiannya sendiri. Ketika mereka tertipu, kesadaran itu datang belakangan. Ironisnya, justru ego sebagai orang pintar itu menjadi lapisan tambahan yang menunda kewaspadaan.
Setelah itu barulah rasa malu mengambil alih. Kita menyalahkan diri sendiri, memilih diam, enggan bercerita. Di titik inilah penipuan menang dua kali. Pertama dengan mengambil sesuatu yang konkret. Kedua dengan merampas harga diri kita. Kita kalah dua kali.
Padahal persoalan ini bukan semata-mata soal individu. Ia adalah benturan antara psikologi manusia yang berubah lambat dan teknologi yang bergerak terlalu cepat. Kita masih membawa otak lama ke dunia baru yang hiper-modern.
Mungkin yang kita perlukan bukan hanya literasi digital dan kewaspadaan teknis, tetapi juga kerendahan hati. Kesediaan untuk mengakui bahwa kita bisa salah. Bahwa tertipu bukan aib, melainkan risiko menjadi manusia di zaman yang serba terhubung.
Sikap paling berbahaya justru keyakinan bahwa kita kebal. Sebab ketika kita berkata, “Saya tidak mungkin tertipu,” di sanalah pintu itu terbuka paling lebar.
Sebagai penulis dan juga sebagai pengguna internet sehari-hari, saya tidak menempatkan diri di luar persoalan ini. Saya menulis bukan dari menara pengawas, melainkan dari dalam kerumunan yang sama yaitu kerumunan manusia yang setiap hari bersentuhan dengan layar, notifikasi, dan pesan yang menuntut respons cepat.
Kesadaran bahwa saya pun bisa salah justru menjadi titik awal kewaspadaan walaupun aya bergaul dengan dunia teknologi digital dan bahkan memiliki latar belakang ilmu komputer.
Dengan demikian kita harus merawat bukan hanya kecakapan teknis untuk mengenali penipuan, tetapi juga etika sosial digital yaitu kebiasaan untuk berhenti sejenak, memeriksa ulang, dan memberi ruang bagi keraguan yang sehat. Di tengah arus informasi yang deras, kehati-hatian bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk tanggung jawab pada diri sendiri dan pada sesama.
Pada akhirnya, internet adalah cermin dari kita sebagai manusia. Ia paradok, yaitu memperbesar empati sekaligus kelengahan, mempercepat solidaritas sekaligus manipulasi. Pertanyaannya bukan apakah kita bisa sepenuhnya aman, melainkan apakah kita bersedia menjadi pengguna yang lebih sadar.
Bagi saya, kesadaran itu dimulai dari satu pengakuan sederhana bahwa di dunia digital kita semua rentan dengan semua bentuk penipuan ini dan justru karena itu, perlu saling menjaga.
Penipuan di internet itu adalah "perang" psikologi. Waspadalah!
(Riri Satria - Des 2025)
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta “Login Haramain” (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).
Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.
Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.
Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.
Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,
Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta "Login Haramain" (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).
Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.
Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.
Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.
Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,
Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]
Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering. Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]
oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]
Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]
Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]
Assalamu alaikum wr wb. Salam dari Arafah, Mekkah Al Mukarramah. Tahukah sahabat bahwa nama Sukarno sangat terkenal di Arafah? Ya, pohon yang di belakang saya itu disebut oleh orang sini sebagai Pohon Sukarno. Pohon Soekarno di Padang Arafah adalah warisan hijau yang berasal dari usulan Presiden Sukarno saat melaksanakan ibadah haji pada tahun 1955. Usulan […]