Riri Satria
KATEGORI
  • Dokumen
  • Terkini
  • Teknologi & Transformasi Digital
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Sastra (Puisi dan Esai)
  • Apa Kata Media?
  • Apa Kata Sahabat?
  • MASIH SOAL INDUSTRY 5.0: TITIK TEMU MANUSIA DAN KEBUDAYAAN, TEKNOLOGI, SERTA EKONOMI DAN BISNIS

    16 Dec 2025 | Dilihat: 18 kali

    Ketika saya mencoba memahami industry 5.0 lebih pelan dan lebih jujur, tiga kata kunci selalu kembali berputar di kepala saya: human-centric, resilient, dan sustainability. Ketiganya sering diulang dalam berbagai forum, dokumen kebijakan, atau ketika membahas strategi korporasi. Ketiga jargon ini semakin sering dibahas dala rapat atau forum top management di korporasi serta di forum kajian akademik para pakar. Namun di sisi lain, saya kerap bertanya dan pertanyaan itu semakin mengusik pikiran saya, apakah kita sungguh memahami makna perubahan ini, atau sekadar menghafal istilahnya?

    Bagi saya, ketiga istilah ini baru bermakna jika kita mau menurunkannya dari level konsep ke pengalaman nyata yaitu cara kita bekerja, mengambil keputusan, dan memandang manusia di tengah mesin.

    Bagi saya, revolusi industri 5.0 bukan soal penamaan tahap lanjutan setelah 4.0. Ia adalah soal paradigma. Soal cara pandang yang menuntut perubahan nyata dalam praktik bisnis, pengambilan keputusan, bahkan dalam cara kita mendefinisikan “kemajuan”. Jika perubahan ini tidak sungguh kita hayati, maka semua jargon tersebut akan berhenti sebagai slogan di presentasi dan laporan tahunan.

    Disrupsi dan industri dan bisnis tentu saja terus terjadi. Banyak yang merasa gamang, lelah, bahkan terancam. Tetapi jika saya menarik napas lebih dalam, disrupsi ini bukan sesuatu yang benar-benar baru. Ia adalah keniscayaan dalam perjalanan peradaban manusia.

    Setiap revolusi industri sebelumnya selalu membawa keguncangan seperti pekerjaan hilang, cara hidup berubah, nilai-nilai lama dipertanyakan. Hari ini yang sangat terasa adalah kecepatannya. Perubahan bergerak begitu cepat hingga sering kali kesadaran kita tertinggal di belakang teknologi.

    "The tuture is faster than you think" kata Peter H. Diamandis dan Steven Kotler dalam buku mereka yang terjudul The Future Is Faster Than You Think: How Converging Technologies Are Transforming Business, Industries, and Our Lives ang terbit tahun 2020. Ini adalah ssalah satu buku favorit saya dan sering saya jadikan referensi dalam berbagai tulisan dan pembicaraan.

    Di titik inilah saya merasa penting untuk tidak berhenti pada pembahasan industri semata. Ketika kita berbicara tentang industry 5.0 kita tidak dapat melepaskannya dari society 5.0 yang ruang lingkupnya jauh lebih luas daripada industry 4.0. Society 5.0 bukan sekadar teknologi digital; ia adalah isu peradaban. Ia menyentuh cara manusia hidup, berelasi, bekerja, dan memberi makna pada keberadaannya di dunia yang semakin terdigitalisasi, dan tentu saja akan mempengaruhi industri sebagai salah satu produk peradaban manusia.

    Bagi saya, society 5.0 seharusnya menjadi ruang perjumpaan berbagai disiplin ilmu. Ilmu ekonomi perlu hadir untuk memastikan keadilan dan keberlanjutan distribusi. Ilmu sosial diperlukan agar kita memahami dampak teknologi terhadap relasi manusia dan struktur masyarakat. Ilmu budaya membantu kita menjaga identitas dan makna di tengah arus globalisasi digital. Bahkan filsafat yang sering dianggap terlalu abstrak, justru menjadi krusial, karena di sanalah kita bertanya tentang tujuan, nilai, dan batas.

    Nah, sekarang mari kita lihat lebih mendalam 3 pilat utama industri 5.0, yaitu human centric, resilient, serta sustainability

    Pertama, human-centric: manusia kembali ke titik pusat, bukan sekadar pelengkap mesin

    Dalam industry 4.0, kita terobsesi pada otomatisasi, efisiensi, dan kecepatan. Mesin menggantikan banyak peran manusia, algoritma mengambil alih pengambilan keputusan, dan keberhasilan diukur dari seberapa jauh campur tangan manusia bisa dikurangi. Industry 5.0, bagi saya, justru muncul sebagai koreksi halus bahkan kritik atas pendekatan tersebut.

    Pendekatan human-centric berarti teknologi dikembangkan untuk memberdayakan manusia, bukan menyingkirkannya. Contohnya dapat kita lihat pada penggunaan collaborative robots atau cobots di pabrik. Robot tidak lagi diposisikan sebagai pengganti total tenaga kerja, tetapi sebagai mitra yang mengambil alih tugas berulang, berat, atau berbahaya, sementara manusia fokus pada kreativitas, pengambilan keputusan, dan penyelesaian masalah kompleks. Di sini, manusia tidak kalah oleh mesin; ia justru diperkuat olehnya.

    Dalam praktik bisnis, pendekatan ini juga tercermin pada desain kerja yang lebih manusiawi: jam kerja fleksibel yang didukung teknologi digital, sistem kerja hibrida, serta pemanfaatan data untuk meningkatkan keselamatan dan kesejahteraan pekerja, bukan sekadar memaksimalkan produktivitas.

    Bagi saya, human-centric berarti kita bertanya bukan hanya “Apa yang bisa dilakukan teknologi?”, tetapi “Apa yang seharusnya teknologi lakukan untuk manusia?”

    Kedua, resilient: ketangguhan sebagai kemampuan beradaptasi, bukan sekadar bertahan

    Pandemi, krisis rantai pasok global, hingga konflik geopolitik beberapa tahun terakhir membuka mata banyak industri, termasuk saya sebagai pengamat dan pelaku, bahwa efisiensi ekstrem sering kali dibayar mahal dengan rapuhnya sistem. Industry 5.0 menggeser fokus dari sekadar lean dan cost effective menuju resilient atau tangguh menghadapi ketidakpastian.

    Resilient dalam konteks ini bukan berarti kebal terhadap berbagai beentuk krisis, melainkan mampu beradaptasi dan pulih dengan cepat. Contohnya terlihat pada perusahaan yang mulai mendiversifikasi rantai pasoknya, memanfaatkan teknologi digital untuk real time monitoring, kemudian membangun skenario alternatif ketika satu jalur distribusi terganggu. Teknologi seperti digital twin memungkinkan simulasi gangguan sebelum benar-benar terjadi, sehingga keputusan dapat diambil dengan lebih tenang dan terukur.

    Pada ruang lingkup sumber daya manusia, resilient juga berarti investasi pada upskilling dan reskilling. Alih-alih mem-PHK pekerja ketika teknologi berubah, perusahaan justru membekali mereka dengan keterampilan baru. Bagi saya, ini adalah bentuk resiliensi yang paling manusiawi yaitu ketika membangun ketangguhan bersama, bukan ketangguhan yang mengorbankan sebagian orang demi menyelamatkan sistem.

    Ketiga, ssustainability: keberlanjutan sebagai kompas moral dan strategis

    Jika human-centric adalah soal manusia hari ini, dan resilient adalah soal kemampuan bertahan dalam ketidakpastian, maka sustainability adalah soal tanggung jawab kita pada masa depan. Dalam industry 5.0, keberlanjutan tidak lagi diposisikan sebagai beban biaya atau kewajiban administratif, melainkan sebagai strategi inti atau core strategy.

    Contoh konkritnya terlihat pada penerapan circular economy di mana desain produk yang sejak awal mempertimbangkan daur ulang serta penggunaan kembali material untuk minimasi limbah. Lalu teknologi digital membantu memecahkan soal karbon, mengoptimalkan penggunaan energi, dan mengurangi pemborosan dalam proses produksi. Pabrik pintar atau smart factory tidak hanya "cerdas" secara teknis, tetapi juga lebih hemat energi dan ramah lingkungan.

    Namun bagi saya, keberlanjutan juga menyentuh dimensi sosial. Bisnis yang berkelanjutan adalah bisnis yang tidak merusak komunitas di sekitarnya, yang adil terhadap pekerja, dan yang tidak menukar keuntungan jangka pendek dengan kerusakan jangka panjang.

    Menyambung ketiganya: teknologi dengan kesadaran

    Pada akhirnya, saya melihat human-centric, resilient, dan sustainability bukan sebagai tiga pilar yang berdiri sendiri, melainkan sebagai satu kesatuan nilai. Teknologi yang berpusat pada manusia akan lebih mudah diterima dan lebih berkelanjutan. Sistem yang berkelanjutan cenderung lebih tangguh menghadapi krisis. Dan ketangguhan yang sejati hanya mungkin jika manusia tidak dipinggirkan.

    Industry 5.0, bagi saya, adalah ajakan untuk menggunakan teknologi dengan kesadaran. Bukan sekadar bertanya apa yang bisa kita bangun, tetapi juga untuk siapa, dengan cara apa, dan untuk masa depan seperti apa. Di sanalah industri tidak hanya tumbuh lebih canggih, tetapi juga lebih bijak.

    (Riri Satria - Desember 2025)

    About Author

    Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta "Login Haramain" (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).

    Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.

    Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.

    Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.

    Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,

    Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

    Konten Populer

    • Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]

      Jul 02, 2025
    • Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]

      Apr 13, 2024
    • Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering.   Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]

      May 27, 2024
    •   oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]

      May 20, 2024
    • Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]

      Nov 14, 2021
    • DOWNLOAD DOKUMEN

      May 17, 2025
    • Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]

      Jun 06, 2021
    • Assalamu alaikum wr wb. Salam dari Arafah, Mekkah Al Mukarramah. Tahukah sahabat bahwa nama Sukarno sangat terkenal di Arafah? Ya, pohon yang di belakang saya itu disebut oleh orang sini sebagai Pohon Sukarno. Pohon Soekarno di Padang Arafah adalah warisan hijau yang berasal dari usulan Presiden Sukarno saat melaksanakan ibadah haji pada tahun 1955. Usulan […]

      May 27, 2025

    F R I E N D S


    RECENT EVENT

    RECENT EVENT

    play-sharp-fill

    POJOK PODCAST

    KULBIZ SESI 1.3
    By BigThinkersID Host Pinpin Bhaktiar
    Kulbiz adalah tentang kuliah ilmu bisnis secara komprehensif, relevan dan asik 😁🥳🚀🔥
    video
    play-sharp-fill

    Podcast Selengkapnya klik disini...

    Hide picture