Riri Satria Lecturer - Researcher - Poetry & Coffee Lover
Saya sering bertanya pada diri sendiri: untuk apa sebenarnya kampus ada? Pertanyaan ini terdengar sederhana, tetapi jawabannya selalu membawa saya pada persimpangan yang rumit antara tuntutan pasar yang serba cepat dan kerja sunyi pengembangan ilmu pengetahuan yang hasilnya sering baru terasa puluhan tahun kemudian. Di persimpangan inilah kampus berdiri, kadang goyah, kadang terlalu condong ke satu sisi.
Secara konseptual, peranan kampus memang memiliki dua poros utama. Pertama, sebagai institusi pendidikan yang menyiapkan sumber daya manusia untuk menjawab kebutuhan pasar dan industri. Kedua, sebagai ujung tombak pengembangan ilmu pengetahuan, tempat lahirnya gagasan-gagasan baru yang mendorong peradaban maju. Dua peran ini bukan sekadar fungsi administratif, melainkan mandat historis universitas sejak kemunculannya di Eropa abad pertengahan hingga kini.
Dalam peran pertama, kampus dituntut untuk relevan. Istilah “link and match” menjadi mantra yang terus diulang, seolah-olah relevansi hanya berarti kesesuaian langsung dengan kebutuhan industri saat ini. Padahal, pendidikan tinggi tidak pernah bekerja untuk hari ini semata.
Kampus mendidik mahasiswa untuk dunia yang belum sepenuhnya kita kenal. Karena itu, keterhubungan dengan industri semestinya bersifat antisipatif, bukan reaktif. Disrupsi pada industri akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin marak. Nah, tantangannya adalah bagaimana kampus menyiapkan mahasiswa untuk meghadapi hal seperti ini.
Di sinilah riset terapan (applied research) menjadi penting. Bukan sekadar penelitian yang menjawab masalah praktis, tetapi penelitian yang mampu membaca arah perubahan teknologi, ekonomi, dan sosial. Kkeilmuan dosen tidak berhenti pada “penemuan” (discovery), tetapi juga “penerapan” (application) dan “integrasi” pengetahuan. Kemampuan terhadap foresight ke depan semakin dibutuhka, baik industry foresight serta society foresight.
Dosen, dalam konteks ini, tidak cukup hanya mengajar dari buku teks; ia harus hidup di dalam dinamika keilmuannya, memahami ke mana industri bergerak, dan apa kompetensi yang kelak dibutuhkan mahasiswa.
Namun, di sisi lain, kampus juga memikul tanggung jawab yang jauh lebih sunyi namun berat dan kompleks, dan sering kali kurang diapresiasi yaitu pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Di sinilah penelitian dasar (basic research) mengambil peran sentral. Penelitian jenis ini kerap dianggap “tidak produktif” karena tidak langsung menghasilkan produk atau keuntungan ekonomi. Padahal, hampir semua lompatan besar dalam teknologi berakar pada riset dasar, misalnya dari mekanika kuantum hingga komputasi kuantum.
Universitas harus menjadi ruang kebebasan akademik, tempat pengajaran dan penelitian berpadu untuk mencari kebenaran secara akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kerangka ini, program pascasarjana yaitu Magister dan Doktor menjadi jantung universitas.
Di sanalah filsafat ilmu pengetahuan diperdalam, metodologi diuji, dan batas-batas pengetahuan (the frontier of science) perlahan didorong ke depan. Dosen di level ini tidak hanya berfungsi sebagai pengajar, tetapi sebagai peneliti yang aktif, yang hidup dari pertanyaan, bukan sekadar jawaban.
Saya percaya, tanpa fondasi penelitian dasar yang kuat, kampus akan kehilangan jiwanya. Ia mungkin tampak sibuk, penuh pelatihan dan sertifikasi, tetapi miskin kedalaman ilmu pengetahuan. Kampus semacam ini mudah tergoda menjadi semacam training company, yang bisa saja efisien, pragmatis, tetapi rapuh secara intelektual. Angka-angka jangka pendek mungkin tercapai, tetapi harga yang dibayar adalah erosi perlahan terhadap martabat akademik.
Ketika kedua peran ini, pemenuhan kebutuhan pasar dan pengembangan ilmu pengetahuan pelu berjalan seimbang, barulah kampus layak disebut sebagai center of excellence. Bukan karena gedungnya megah atau peringkatnya tinggi, melainkan karena ia mampu menjadi sumber rujukan, baik bagi industri maupun bagi pengembangan ilmu itu sendiri.
Namun, konteks Indonesia memberi lapisan tanggung jawab tambahan. Kampus di negeri ini tidak boleh menjadi menara gading yang steril dari persoalan masyarakat. Ketimpangan sosial, kemiskinan, krisis lingkungan, dan problem kebijakan publik adalah realitas yang tidak bisa diabaikan. Karena itu, pengabdian kepada masyarakat dalam pengertian luas bukanlah aktivitas pelengkap, melainkan perpanjangan logis dari pendidikan dan penelitian.
Paulo Freire, seeorang filsuf pendidikan asal Brazil (1921-1997) mengingatkan bahwa pendidikan sejati selalu bersifat emansipatoris: ia berpihak pada pembebasan manusia dari ketidaktahuan dan ketidakadilan. Dalam kerangka ini, kampus bukan hanya produsen tenaga kerja atau pengetahuan abstrak, tetapi aktor sosial yang terlibat aktif dalam transformasi masyarakat. Inilah pentingnya pengabdian kepada masyarakat.
Pada akhirnya, refleksi ini membawa saya pada kesimpulan yang mungkin sederhana, tetapi tidak mudah dijalankan: kampus harus berani menolak reduksi. Ia tidak boleh direduksi menjadi pabrik tenaga kerja, tetapi juga tidak boleh terjebak dalam eksklusivitas intelektual yang terputus dari realitas.
Menjaga keseimbangan di antara keduanya adalah kerja panjang, melelahkan, dan sering kali tidak populer. Tetapi justru di sanalah martabat universitas dipertaruhkan sebagai ruang di mana masa depan dipikirkan dengan serius, bukan sekadar dikejar dengan tergesa-gesa.
Vivat academia!
Vivat professores!
(RS - Des 2025)
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta “Login Haramain” (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).
Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.
Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.
Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.
Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,
Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta "Login Haramain" (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).
Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.
Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.
Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.
Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,
Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]
Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]
Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering. Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]
oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]
Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]
Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]
Assalamu alaikum wr wb. Salam dari Arafah, Mekkah Al Mukarramah. Tahukah sahabat bahwa nama Sukarno sangat terkenal di Arafah? Ya, pohon yang di belakang saya itu disebut oleh orang sini sebagai Pohon Sukarno. Pohon Soekarno di Padang Arafah adalah warisan hijau yang berasal dari usulan Presiden Sukarno saat melaksanakan ibadah haji pada tahun 1955. Usulan […]