Riri Satria
KATEGORI
  • Dokumen
  • Terkini
  • Teknologi & Transformasi Digital
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Sastra (Puisi dan Esai)
  • Apa Kata Media?
  • Apa Kata Sahabat?
  • Menghapus Stigma, Menemukan Senen: Catatan Dua Hari di Festival Senen 2025

    01 Dec 2025 | Dilihat: 73 kali

    Oleh Riri Satria*

    Setiap orang memiliki tempat yang ingin dihindari. Bagi saya, selama bertahun-tahun, tempat itu salah satunya adalah Senen—sebuah kawasan yang bagi banyak orang dianggap sebagai jantung mobilitas Jakarta, tetapi bagi saya menjadi simbol dari kekacauan kota besar. Ketika orang menyebut Senen, yang langsung muncul dalam benak saya adalah jalan-jalan yang padat, klakson yang bersahutan, asap kendaraan yang mengiritasi mata, dan suasana yang seolah tak pernah menawarkan ruang bernapas. Senen, dalam imajinasi saya, selalu identik dengan kata semrawut.

    Tidak berhenti sampai di situ, ingatan buruk yang saya alami pada kunjungan pertama ke Jakarta pada tahun 1988 semakin menguatkan stigma tersebut. Saat itu, saya baru saja menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia (UI) dan hanya ingin membeli buku ke Senen —sesuatu yang sederhana dan seharusnya menyenangkan. Namun pengalaman itu berubah menjadi petaka kecil ketika saya dipalak preman di kawasan Senen sebesar Rp. 3000 pada tahun itu. Peristiwa tersebut menjadi garis tebal dalam memori saya tentang Jakarta. Seperti halnya ingatan traumatis lain yang suka menetap, ia melekat begitu lama hingga menciptakan jarak emosional antara saya dan kawasan itu. Jika tidak ada urusan yang betul-betul penting, Senen bukanlah tempat yang akan saya datangi sukarela.

    Namun kota, seperti halnya manusia, selalu berubah. Dan sering kali, kita baru menyadari perubahan itu ketika diberi kesempatan untuk melihat ulang sesuatu yang selama ini kita hindari. Bagi saya, kesempatan itu datang ketika saya mengikuti Festival Senen 2025—sebuah acara yang awalnya tidak saya bayangkan akan mengubah cara saya melihat sebuah kawasan.

    Senen yang Tidak Saya Kenal serta Lapisannya yang Tersembunyi

    Dua hari berada di tengah kegiatan festival membuka tabir yang selama ini menutupi pandangan saya. Saya mulai menyadari bahwa Senen tidak bisa dihakimi hanya dari hiruk-pikuk masa kini atau dari satu pengalaman buruk di masa lalu. Ketika saya mengikuti penjelasan demi penjelasan oleh mereka yang mengenal Senen di masa lalu pada festival tersebut, saya dikejutkan oleh betapa kayanya masa lalu Senen.

    Sebelum Taman Ismail Marzuki (TIM) berdiri 10 November 1968, Senen merupakan tempat berkumpul para seniman Jakarta. Di sini, para pelukis, penyair, dramawan, dan pemikir muda berkumpul, berdiskusi tentang seni dan kehidupan, bahkan merancang gerakan-gerakan budaya yang kelak memengaruhi wajah seni Indonesia. Jalan-jalan yang kini dijejali kios dan kendaraan ternyata pernah menjadi ruang lahirnya ide-ide besar. Penyair legendaris Chairil Anwar pernah lama berkiprah di Senen, demikian pula seniman kondang Betawi, Benyamin Suaeb. Di sudut-sudutnya yang tampak biasa, ada jejak romansa intelektual dan kultural yang kaya dan bagian dari wajah  perkembangan Jakarta.

    Menyusuri lorong-lorong Senen, saya seakan berjalan berdampingan dengan bayang-bayang sejarah. Ada sensasi seperti membuka album foto tua yang selama ini terabaikan: kita tidak menyangka bahwa sesuatu yang tampak kusam ternyata menyimpan kisah yang begitu berharga. Senen yang saya temui bukan lagi Senen yang penuh kekacauan, melainkan Senen yang memiliki memori kolektif, yang membawa denyut budaya, ekonomi, dan sosial kota ini sejak puluhan tahun lalu. Saya pun memperkaya wawasan saya ini dengan berbagau literatur tentang Senen, dan saya senakin paham betapa Senen ada estetika sendiri yang barangkali tersembunyi.

    Ketika Stigma Mulai Meluruh

    Perlahan pandangan saya bergeser. Stigma yang selama ini saya genggam erat mulai retak. Saya mulai bertanya pada diri sendiri: apakah selama ini saya tidak adil terhadap sebuah tempat yang bahkan tidak pernah saya beri kesempatan kedua? Adilkah saya memahami bahkan menghakimi Senen dengan pengalaman pribadi yang kebetulan tidak menyenangkan?

    Dua hari berada di Festival Senen 2025 membuat saya melihat bahwa Senen adalah cerminan dari Jakarta itu sendiri—sebuah kota yang keras, tetapi juga menyimpan kehangatan; kota yang bising, tetapi menyimpan kisah-kisah lembut; kota yang tampak tak teratur, namun selalu berproses menuju bentuk yang lebih baik. Festival ini adalah sebuah undangan buat saya untuk merevisi cara saya melihat ruang publik dan sejarah urban yang bernama Senen..

    Satu hal yang tak kalah penting, saya melihat bagaimana Senen hari ini sedang berbenah. Penataan kawasan telah membuat jalan kaki terasa lebih nyaman, ruang publik lebih tertata, dan suasana keseluruhan terasa lebih terkendali dibanding beberapa tahun yang lalu. Seakan-akan kawasan ini juga ingin memperkenalkan dirinya kembali kepada warga Jakarta—bahwa ia bukan sekadar terminal besar atau pusat perdagangan yang penuh sesak, melainkan ruang yang layak untuk dihargai.

    Sebuah Refleksi tentang Kota dan Ingatan

    Pengalaman ini membuat saya merenungi hubungan kita dengan kota. Sering kali kita memberi label pada sebuah tempat berdasarkan satu atau dua pengalaman yang melekat, tanpa menyadari bahwa tempat itu juga telah dan sedang berubah. Kota bergerak, tumbuh, dan bertransformasi—kadang lebih cepat dari ingatan kita, kadang lebih lambat dari prasangka yang kita pelihara.

    Senen mengajarkan saya bahwa setiap ruang mempunyai banyak versi: versi masa lalu, versi masa kini, versi yang pernah kita alami, dan versi yang tidak pernah kita lihat. Ketika kita membuka diri untuk kembali mengunjungi sebuah tempat, kita memberi kesempatan bagi memori baru untuk menggantikan atau setidaknya menyeimbangkan ingatan lama.

    Senen yang Baru dalam Diri Saya

    Kini, ketika mendengar kata Senen, saya tidak lagi langsung teringat pada preman atau keruwetan lalu lintas. Yang muncul adalah citra baru—kawasan yang menyimpan sejarah kaya, ruang yang pernah menjadi rumah para seniman, tempat yang sedang berbenah, dan pengalaman dua hari yang mengubah cara saya memandangnya.

    Saya mungkin masih melihat kekacauan di beberapa sudut Senen, tetapi saya juga melihat harapan dan cerita. Dan mungkin memang seperti itulah kota seharusnya: bukan hanya ruang fisik yang kita tinggali, tetapi ruang emosional yang terus-menerus kita maknai ulang.

     

     Riri Satria, aktivis sastra, Ketua Jagat Sastra Milenia, pengamat serta praktisi ekonomi, bisnis, dan teknologi, serta akademisi di bidang teknologi dan transformasi digital.

    Sumber : Pojok TIM

    About Author

    Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusastraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), serta "Login Haramain" (2025), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023).

    Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Diperkirakan buku kumpulan esai terbaruya tentang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, serta kemanusiaan akan terbit pada tahun 2026.

    Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025), serta memberikan kuliah umum tentang topik pada Pertemuan Penyair Nusantara XIII (2025) di Perpustakaan Nasional RI.

    Saat ini Riri Satria menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia.

    Riri juga pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024 s/d September 2025,

    Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

    Konten Populer

    • Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]

      Jul 02, 2025
    • Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]

      Apr 13, 2024
    • Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering.   Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]

      May 27, 2024
    •   oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]

      May 20, 2024
    • Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]

      Nov 14, 2021
    • DOWNLOAD DOKUMEN

      May 17, 2025
    • Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]

      Jun 06, 2021
    • Assalamu alaikum wr wb. Salam dari Arafah, Mekkah Al Mukarramah. Tahukah sahabat bahwa nama Sukarno sangat terkenal di Arafah? Ya, pohon yang di belakang saya itu disebut oleh orang sini sebagai Pohon Sukarno. Pohon Soekarno di Padang Arafah adalah warisan hijau yang berasal dari usulan Presiden Sukarno saat melaksanakan ibadah haji pada tahun 1955. Usulan […]

      May 27, 2025

    F R I E N D S


    RECENT EVENT

    RECENT EVENT

    play-sharp-fill

    POJOK PODCAST

    KULBIZ SESI 1.3
    By BigThinkersID Host Pinpin Bhaktiar
    Kulbiz adalah tentang kuliah ilmu bisnis secara komprehensif, relevan dan asik 😁🥳🚀🔥
    video
    play-sharp-fill

    Podcast Selengkapnya klik disini...

    Hide picture