Riri Satria
KATEGORI
  • Dokumen
  • Terkini
  • Teknologi & Transformasi Digital
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Sastra (Puisi dan Esai)
  • Apa Kata Media?
  • Apa Kata Sahabat?
  • Telinga dan Pasar Saham pada Buku Puisi karya Annisa Resmana Akhmad

    02 Oct 2025 | Dilihat: 43 kali

    Oleh Riri Satria

    Jujur saja, sebelumnya saya tidak mengenal nama Annisa Resmana Akhmad dalam belantika kepenyairan Indonesia. Ini bisa jadi karena saya yang kurang gaul, atau bisa juga Nisa adalah seorang emerging writer yang sedang naik daun sehingga belum sempat masuk ke dalam “radar” saya. Saya menyaksikan penampilan pertamanya pada acara Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII 2025 sebulan lalu di Perpustakaan Nasional RI. Nisa tampil membaca puisi dengan eksentrik memanfaatkan situasi ruangan, panggung, bahkan sempat sedikit menunjukkan kepandaiannya memainkan piano walau hanya sebentar. Menarik! Beberapa sahabat penyair berbisik kepada saya bahwa beliau ini adalah pendatang baru yang saat ini juga mulai jadi pembicaraan banyak pihak dalam dunia kepenyairan. Bah! Ternyata saya yang kurang gaul kan?

    Seminggu sebelum penyelenggaraan PPN XIII, Nisa meluncurkan buku kumpulan puisinya berjudul “Telinga yang Tidak Dijual di Pasar Saham” di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sebuah judul yang tidak biasa untuk sebuah buku kumpulan puisi. Apalagi ada kata-kata “pasar saham’ yang langsung menyita perhatian saya, karena saya lumayan dekat dengan pasar saham. Tetapi apa yang akan disampaikan Nisa dengan diksi “pasar saham”? Ini semakin menarik dan membuat penasaran.

    Nah berselang dua minggu kemudian, buku “Telinga yang Tidak Dijual di Pasar Saham” sampai ke tangan saya ditambah dengan pesan singkat dari Nisa agar saya membahasnya dari perspektif saya. Inilah tulisan untuk membahas buku tersebut.

    Seperti biasa ketika membahas sebuah tulisan, saya tidak akan memisahkan antara teks atau tulisan dengan penulisnya. Saya menganut paham yang mengatakan bahwa sebua teks atau tulisan tidak akan bisa dipisahkan dengan latar belakang si penulisnya. Menurut saya, kita akan sulit menganalisis makna sebuah teks, jika kita memisahkan antara nilai intrinsik yang terdapat pada teks atau tulisan dengan nilai ekstrinsik yang terdapat pada penulisnya. Nilai intrinsik adalah unsur-unsur fundamental yang membangun tulisan dari dalam dalam bentuk tema, tokoh, alur, dan latar. Sementara itu nilai ekstrinsik adalah faktor-faktor dari luar teks yang memengaruhi dan memperkaya interpretasi karya, meliputi latar belakang penulis, kondisi sosial-budaya masyarakat, hingga nilai-nilai yang ingin disampaikan penulis lewat tulisannya. Kedua jenis nilai ini bekerja sama untuk memberikan pemahaman serta pemaknaan yang lebih lengkap kepada si pembaca tentang sebuah tulisan, termasuk karya sastra.

    Dalam pendekatan analisis hermeneutika, kaitan antara teks dan penulis adalah semacam hubungan dialektis di mana penulis membuat teks melalui pengalaman, pemikiran, dan niatnya. Sementara itu teks kemudian membuka jalan bagi pembaca untuk memahami penulisnya. Hermeneutika menekankan bahwa teks tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa mempertimbangkan konteks historis dan budaya tempat teks itu diproduksi, yang turut dipengaruhi oleh penulisnya.

    Lalu pertanyannya apakah latar belakang Nisa sehingga dia menggunakan diksi “pasar saham”? Bukan pasar tradisional, atau pasar malam, atau pasar gelap, atau yang lainnya. Jelas Nisa tentu tidak akan asal-asalan menggunakan diksi “pasar saham”, lalu dikaitkan pula dengan “telinga”. Ini adalah kunci untuk mulai memahami buku kumpulan puisi Nisa ini.

    Ternyata latar belakang Nisa jauh dari dunia sastra, dan Nisa pernah berkiprah di CSIS atau Center for Strategic and International Studies, sebuah lembaga think tank strategis mengkaji isu nasional maupun global. Nisa pun alumni program S2 Kajian Ketahanan Nasional Sekolah Kajian Strategis dan Global (SKSG) Universitas Indonesia. Saya tahu persis apa itu CSIS, punya banyak teman di sana, serta pernah terlibat dalam beberapa aktivitas bertahun yang lalu. Ini agak mengagetkan saya. Saya pikir latar belakang Nisa tadinya adalah manajemen keuangan atau akuntansi, serta pernah menjadi pelaku di pasar saham seperti Bursa Efek Indonesia. Ternyata bukan! Namun saya yakin, pasti ada suatu kaitan antara Nisa dan pasar saham sehingga demikian percaya diri menggunakan istilah ini ke dalam dunia puisi. Pasti ada metafora di sini.

    Baiklah, mari kita lihat sejenak bagaimana pasar saham bekerja. Pasar saham adalah tempat perusahaan mencari modal dengan menjual kepemilikan perusahaan berbentuk saham kepada investor. Ketika mulai memasuki pasar saham pertama kali, perusahaan melakukan aktivitas yang dikenal dengan IPO atau Initial Public Offering. Investor yang membeli saham pada IPO menjadi pemilik sebagian dari perusahaan. Investor dapat membeli saham tersebut melalui bursa efek untuk mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga yang dikenal dengan istilah capital gain, atau pembagian laba perusahaan berbentuk dividen.

    Perusahaan yang sudah masuk ke pasar saham disebut dengan perusahaan terbuka atau tbk. Harga saham tetap ditentukan oleh penawaran dan permintaan, dipengaruhi oleh kinerja perusahaan, kondisi ekonomi, dan sentimen pasar, serta diperjualbelikan oleh investor melalui pialang atau aplikasi jual beli saham. Namun demikian, jual-beli saham ini ada risikonya, yaitu kehilangan sebagian atau seluruh modal akibat penurunan harga saham. Harga saham dapat sangat fluktuatif karena sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dibahas sebelumnnya.

    Nah, bagaimana dengan diksi “telinga”? Beberapa penyair terkenal menggunakan diksi “telinga” dalam puisinya, seperti Sapardi Djoko Damono dalam satu puisinya berjudul “Telinga” yang terdapat dalam kumpulan puisinya berjudul “Perahu Kertas” (1983). Juga ada penggunaan diksi “telinga” pada puisi karya penyair lainnya. Namun kalau dibaca, makna hampir sama, yaitu terkait aktivitas mendengar, menyimak, memahami, merasakan, kepekaan, dan sejenisnya.

    Lalu bagaimana dengan “Telinga yang Tidak Dijual di Pasar Saham”? Saya memahami makna pasar saham di sini adalah simbol dari ekonomi yang kapilatistik, yang semuanya diukur dari laba dan rugi secara material bahkan finansial. Tidak ada yang namanya voluntary, semua memiliki return on investment. Semua serba transaksional. Bahkan pasar saham juga tidak steril dari kejahatan seperti menggoreng saham serta insider trading. Semua motifnya transaksional, mendapatkan keuntungan atau capital gain, profit and loss, dan tidak menyisakan ruang untuk yang namanya rasa empati, kemanusiaan, welas asih, dan sejenisnya. Semua mekanisme yang terjadi tunduk kepada algoritma ekonomi dan bisnis. Bahkan kejahatan di sana pun dilakukan dengan merekayasa algoritma ekonomi dan bisnis itu tadi. Naik turunnya harga saham juga dianggap hal wajar sebagai bagian dari risiko atau permainan ekonomi atau economic game. Pasar saham runtuh, ekonomi terperanjat, banyak yang bangkrut dan muncul pegangguran, dianggap hanyalah bagian dari permainan dan dikontrol algoritma ekonomi.

    Nah, rupanya Nisa tidak rela “telinga” yang menjadi simbol atas kemampuan manusia untuk mendengar jeritan kemanusiaan, mengembangkan rasa empati, kepakaan atas persoalan sesama manusia, lalu dijual di “pasar saham” yang bekerja atas motif transaksional, mendapatkan keuntungan atau capital gain, profit and loss, serta tunduk kepada algoritma ekonomi dan bisnis, bukan kemanusiaan. Nisa beteriak dan mengingatkan kepada kita bahwa kepekaan kita sebagai manusia terhadap isu kemanusiaan tidak dapat digadaikan (atau dijual) sehingga hanya tunduk kepada kepentingan traksaksional material semata. Terlalu mahal jika kemanusiaan itu dijalakan dengan model trasaksional apalagi paradigma permainan ekonomi semata, apalagi berlandaskan paradigma apa untungnya buat saya seperti semacam retun on investment.

    Kembali ke latar belakang Nisa yang pernah berkiprah di CSIS dan berlatar belakang pendidikan alumni program S2 Kajian Ketahanan Nasional Sekolah Kajian Strategis dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, tentu Nisa sangat paham berbagai isu strategis yang banyak teradi di Indonesia maupun di luar negeri. Saya yakin Nisa sudah banyak melihat bahwa banyak tragedi kemanusiaan, termasuk kemiskinan atau ketimpangan ekonomi, terjadi karena kepekaan dan rasa empati yang menurun kepada berbagai persoalan kemanusiaan dan lebih mementingkan kepentingan ekonomi semata. Itu karena telinganya dijual di pasar saham.

    Lalu datanglah Annisa Resmana Akhmad yang dengan lantang dalam puisinya yang mengatakan bahwa telinga itu jangan dijual di pasar saham! Ketika itu terjadi, maka kemanusiaan kita pun mati, dan kita hanya menjadi robot ekonomi, bahkan serigala ekonomi.

    — Riri Satria aktif bergiat di dunia kesusatraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta. Puisinya sudah diterbitkan dalam 4 buku puisi tunggal, serta menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku. Sehari-hari Riri Satria adalah Komisaris Utama BUMN ILCS Pelindo Solusi Digital (PSD), dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Anggota Dewan Pertibangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia serta anggota Dewan Juri atau Kurator untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award. Riri Satria adalah Sarjana Ilmu Komputer luluan Universitas Indonesia serta menempuh program S3 DBA pada Paris School of Business, Paris, Prancis.

    Sumber :  PojokTIM.com

    Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, aktif bergiat di dunia kesusatraan Indonesia, pendiri serta Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta, serta menulis puisi. Namanya tercantum dalam buku “Apa dan Siapa Penyair Indonesia’ yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2018). Puisinya sudah diterbitkan dalam buku puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), serta “Metaverse” (2022), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya, termasuk buku kumpulan puisi duet bersama penyair Emi Suy berjudul “Algoritma Kesunyian” (2023). Riri juga menulis esai dengan beragam topik: sains dan matematika, teknologi dan transformasi digital, ekonomi dan bisnis, pendidikan dan penelitian, yang dibukukan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi” (2021), serta “Jelajah” (2022). Dalam beberapa tahun terakhir ini sejak tahun 2018, Riri Satria aktif menekuni dampak teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) terhadap dunia kesusastraan, terutama puisi. Riri diundang menjadi narasumber untuk membahas topik ini di berbagai acara sastra, antara lain: Seminar Internasional Sastra di Universitas Pakuan, Bogor (2018), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2019), Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Banjarbaru Kalimantan Selatan (2019), Seminar Perayaan Hari Puisi Indonesia, Jakarta (2021), Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 di Jambi (2024), Seminar Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi (2024), serta Seminar Etika Kreasi di Era Digital, Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (2025). Sebagai Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Meko Polkam RI) bidang Digital, Siber, dan Ekonomi sejak Oktober 2024  s/d September 2025, sebagai Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital PSD sejak April 2024, sebuah perusahaan teknologi dalam grup Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Sebelumnya selama 5 tahun Riri menjabat sebagai Komisaris Independen pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) 2019-2024, sebuah pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia yag merupakan joint venture antara Pelabuhan Indonesia dengan Hutchison Port Holdings Hongkong melalui Hutchison Ports Indonesia. Riri juga anggota Dewan Juri untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award sejak tahun 2021. Riri juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan mengajar topik Sistem Korporat, Bisnis Digital, Manajemen Strategis Sistem Informasi, serta Metodologi Penelitian untuk program Magister Teknologi Informasi (MTI). Selain itu Riri adalah Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan sebelumnya Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

    Konten Populer

    • Pada tahun 2025, transaksi ekonomi digital diperkirakan se besar Rp 1.775 T. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan terus berkembang dengan nilai transaksi diprediksi akan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025. Dengan proyeksi tersebut, Indonesia akan berada pada peringkat pertama di ASEAN sebagai negara dengan nilai transaksi ekonomi digital terbesar dengan kontribusi […]

      Jul 02, 2025
    • Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]

      Apr 13, 2024
    • Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering.   Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]

      May 27, 2024
    •   oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]

      May 20, 2024
    • Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]

      Nov 14, 2021
    • DOWNLOAD DOKUMEN

      May 17, 2025
    • Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]

      Jun 06, 2021
    • Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya. “Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait […]

      May 03, 2024

    DIRGAHAYU JAGAT SASTRA MILENIA (JSM) 10 Oktober 2020 - 2025

    POJOK PODCAST

    KULBIZ SESI 1.3
    By BigThinkersID Host Pinpin Bhaktiar
    Kulbiz adalah tentang kuliah ilmu bisnis secara komprehensif, relevan dan asik 😁🥳🚀🔥
    video
    play-sharp-fill

    Podcast Selengkapnya klik disini...

    RECENT EVENT


    NEXT EVENT

    Hide picture