Hate speech atau ujaran kebencian, sejatinya bukanlah fenomena baru. Ia sudah ada sejak manusia mengenal perbedaan antara lain perbedaan keyakinan, identitas, kelas sosial, hingga pandangan hidup. Dulu, ujaran kebencian hidup di ruang-ruang terbatas seperti di obrolan warung, bisik-bisik antar kelompok, atau forum-forum tertutup yang lingkupnya sempit. Ia memang menyakitkan, tetapi relatif bisa dilokalisir. Dampaknya pun cenderung berhenti pada komunitas tertentu.

Namun hari ini lanskap itu berubah total. Media sosial menjelma menjadi pengeras suara raksasa. Sesuatu yang dahulu hanya terdengar di sudut gelap kini menggema di ruang publik digital, disaksikan ribuan, bahkan jutaan pasang mata. Ujaran kebencian tidak lagi sekadar diucapkan, malahan diproduksi, dikemas, dan diamplifikasi.

Algoritma yang sejatinya netral, justru sering kali menjadi sekutu tanpa sadar, menjadi semakin provokatif, semakin emosional, semakin penuh amarah, maka semakin besar pula peluangnya untuk tersebar. Akibatnya sederhana namun mengerikan, kita menjadi terlalu sering mendengarnya.

Saya pribadi kerap merasa lelah, bukan karena terlibat langsung dalam perdebatan, tetapi karena menjadi saksi. Setiap membuka linimasa, selalu ada kata-kata yang merendahkan, melabeli, dan meniadakan kemanusiaan orang lain. Awalnya mengagetkan, lalu mengganggu, dan perlahan menjadi biasa. Ini yang paling berbahaya! Di titik itulah saya mulai bertanya pada diri sendiri, sejak kapan kita begitu akrab dengan kebencian?

Satu hal yang lebih mengkhawatirkan adalah ujaran kebencian kini tidak hanya hadir dalam bentuk kemarahan telanjang. Ia menjelma lebih halus, lebih kreatif, bahkan kadang terasa “estetis”. Kita menemukannya dalam puisi, dalam lirik lagu, dalam meme yang dianggap lucu, dalam satire yang katanya sekadar bercanda.

Pop culture ikut memberi ruang bagi normalisasi kebencian entah disengaja atau tidak. Sesuatu yang dibungkus seni sering kali terasa lebih mudah diterima, lebih sulit dikritik, dan lebih cepat menyebar.

Di titik ini, ujaran kebencian tak lagi sekadar ekspresi emosi sesaat. Ia berpotensi menjadi budaya atau setidaknya tolok ukur budaya di mana keberanian diukur dari seberapa tajam seseorang menyerang, dan kejujuran diukur dari seberapa keras seseorang menyakiti. Kita mulai hidup dalam masyarakat yang memuji “ketegasan” yang diterjemahkan ke dalam “ujaran kebencian” atau “perkataan kasar”.

Repotnya kondisi masyarakat sendiri terbelah dalam menyikapi fenomena ini. Ada yang menganggap ujaran kebencian sebagai masalah serius yang mengancam kohesi sosial. Namun tidak sedikit pula yang membelanya mati-matian. Alasannya beragam seeperti kebebasan berekspresi, kejujuran tanpa sensor, atau dalih bahwa “ini hanya kata-kata”. Seolah-olah kata-kata tidak pernah melukai, tidak pernah membentuk cara berpikir, dan tidak pernah memicu tindakan nyata.

Di sinilah saya merasa kita perlu berhenti sejenak dan bercermin. Apakah benar semua yang diucapkan atas nama kebebasan harus dibenarkan? Apakah setiap kemarahan layak diumbar tanpa mempertimbangkan dampaknya? Dan yang paling penting adalah, apakah kita masih mampu membedakan antara kritik yang membangun dan kebencian yang merusak?

Ujaran kebencian tidak tumbuh di ruang hampa. Ia tumbuh dari rasa takut, rasa terancam, dan kegagalan kita berdialog. Media sosial hanya mempercepat dan memperluasnya. Jika kita tidak hati-hati, kita bukan hanya menjadi korban atau pelaku, tetapi juga penonton pasif yang turut menyuburkan iklimnya dengan diam.

Saya tidak percaya bahwa solusi dari ujaran kebencian adalah pembungkaman total. Tetapi saya juga tidak percaya bahwa membiarkannya liar adalah bentuk kedewasaan.

Barangkali yang kita butuhkan adalah kesadaran kolektif bahwa kata-kata memiliki bobot moral. Bahwa ekspresi bukan hanya soal hak, tetapi juga tanggung jawab. Budaya yang sehat tidak lahir dari siapa yang paling keras berteriak, melainkan dari siapa yang paling mampu mendengar.

Jika suatu hari ujaran kebencian benar-benar menjadi budaya, maka yang kita wariskan bukan keberanian, melainkan luka. Dan saya rasa, itu bukan dunia yang ingin kita tinggali bersama.

(RS - Des 2025)