Riri Satria
KATEGORI
  • Dokumen
  • Terkini
  • Teknologi & Transformasi Digital
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Sastra (Puisi dan Esai)
  • Apa Kata Media?
  • Apa Kata Sahabat?
  • Emi Suy : Catatan atas Buku Meretas Pemikiran Riri Satria tentang Puisi & Kecerdasan Buatan

    05 Jul 2025 | Dilihat: 137 kali

    Menenun Kata, Merajut Algoritma: Tafsir Rissa Churria atas Pemikiran Riri Satria tentang Puisi dan Kecerdasan Buatan

    Catatan atas Buku  Meretas Pemikiran Riri Satria tentang Puisi & Kecerdasan Buatan

    oleh: Emi Suy

    Angin membawa suara yang tak terlihat. Kadang, kata-kata adalah daun gugur yang jatuh ke pelataran kesadaran. Di sanalah puisi tumbuh--bukan sekadar untaian diksi, melainkan jendela batin yang menatap dunia dari ruang terdalam jiwa. Namun kini, dunia telah berubah. Data mengalir deras seperti sungai tak bermuara, dan kecerdasan buatan memahat ulang lanskap kemanusiaan.

    Di antara derak zaman itu, suara Rissa Churria hadir, memanggil kita untuk berhenti sejenak dan mendengar ulang desir angin dalam puisi dan gemuruh data dalam algoritma. Melalui buku Meretas Pemikiran Riri Satria tentang Puisi & Kecerdasan Buatan, ia bukan sekadar menyalin gagasan, tetapi menafsir, mengolah, dan memaknainya ulang. Di tangan Rissa Churria, pemikiran Riri Satria bukan hanya wacana teknologi, melainkan juga renungan estetika.

    Rissa dengan cermat menyusun esai-esainya sebagai mosaik reflektif--bukan hanya dokumentasi pemikiran Riri Satria, tetapi tafsir kreatif yang menjembatani dua semesta: puisi dan kecerdasan buatan. Judul-judul seperti "Mengulik Korelasi Algoritma dan Puisi", "Ransomware dan Puisi: Jalinan Tak Terduga", hingga "ChatGPT, Prompting, dan Puisi" bukan sekadar provokatif secara intelektual, tapi juga mengandung nyawa, rasa, dan perenungan.

    Rissa tak berhenti di lapisan luar. Ia menyelami, meminjam sudut pandang Riri, lalu menyusunnya menjadi narasi yang hidup. Ia memosisikan dirinya sebagai penafsir--dan tafsir itu bukanlah salinan, melainkan kelahiran ulang. Esainya mengalir lembut seperti prosa yang berjiwa puisi.

    Puisi dan AI: Percakapan Dua Dunia

    Bayangkan: sebuah puisi ditulis oleh AI. Apakah itu masih puisi? Apakah rasa dapat diotomatisasi? Apakah patah hati bisa dikompresi menjadi kode?

    Melalui pemikiran Riri yang ditafsir oleh Rissa-terutama dalam esai seperti "Membaca Riri Satria di Konferensi Puncak OSH Asia 2024" (Majalah Elipsis, 23 Agustus 2024) dan "Ransomware dan Puisi" (Parahyangan Post, 15 September 2024)--kita tidak diajak untuk takut, tetapi untuk memahami. Bukan menjauh, tapi mendekat.

    AI bisa meniru ritme dan rima. Tapi bisakah ia mengerti sunyi? Mungkin ia bisa menulis tentang hujan, tapi bisakah ia benar-benar kedinginan?

    Dalam pembacaan Rissa, Riri Satria tidak memusuhi teknologi. Justru sebaliknya-ia memeluknya. AI bukan pesaing, melainkan pengiring. Ia tidak akan menggantikan penyair, tetapi bisa menjadi ladang baru tempat penyair menabur makna.

    Esai "Harmoni Proses Kreatif dan Menulis Kreatif: Memadukan Analisis dan Imajinasi" menjadi momen kontemplatif yang dalam. Di sana, batas antara sains dan seni menjadi kabur--dan justru dalam kaburnya batas itu, lahirlah peluang-peluang baru untuk menulis, berpikir, dan mencipta.

    Algoritma, Kolaborasi, dan Empati

    Dalam salah satu esai, "Memperkuat Kolaborasi dalam Meningkatkan SDM di Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja" (Parahyangan Post, 22 Agustus 2024), Rissa menangkap gagasan Riri tentang kolaborasi lintas disiplin. Teknologi tak boleh jadi menara gading. Ia harus menjadi ruang duduk bersama--tempat berdialog antara sains, seni, dan kebijakan.

    Begitu pula esai "Orasi Budaya: Antara Kecerdasan Buatan dan Kecerdasan Manusia" (Suara Merdeka, 8 Januari 2024) menunjukkan bahwa bagi Riri, kecerdasan tak sekadar problem solving, tapi juga penghayatan. Dan Rissa, dengan lembut, memoles gagasan itu hingga menjadi cermin untuk kita menatap diri: apakah kita masih merasa? Apakah kita masih peka?

     Tafsir yang Menghidupkan

    Buku ini, di tangan Rissa, menjadi lebih dari sekadar penghormatan kepada Riri Satria. Ia adalah tafsir yang hidup--sebuah jembatan antara dunia batin dan dunia biner. Di balik tiap kutipan dan ulasan, ada pergulatan rasa, ada kegelisahan zaman, dan ada harapan: bahwa puisi tidak akan mati di tangan algoritma.

    Bahwa imajinasi, ketika disandingkan dengan logika, justru bisa melahirkan kebaruan yang utuh.

    Meretas Pemikiran Riri Satria bukan hanya buku tentang ide, tapi juga tentang jiwa. Ia seperti nyala lilin dalam ruang data--kecil, tapi menerangi. Dan Rissa, sebagai penulis, bukan hanya pewarta, tapi penyala. Ia telah menyalakan ulang diskusi tentang teknologi dan sastra--dan api itu, semoga terus menyala di tangan kita.

    Saya merekomendasikan buku ini untuk siapa saja yang sedang mencari arah di antara kabut algoritma dan desir puisi.

    Di Antara Sunyi dan Suara Mesin

    Pada akhirnya, mungkin kita semua hanya ingin didengar. Entah oleh sesama manusia, atau oleh kecerdasan buatan yang perlahan mulai memahami arti tangis di balik jeda kalimat. Puisi--adalah cara kita mengingat bahwa di balik kode-kode dan piksel yang menyala, masih ada hati yang bergetar oleh senja, oleh kehilangan, oleh harapan.

    Rissa Churria menulis bukan sekadar mencatat. Ia menafsir, merapal, menyulam suara Riri Satria menjadi selendang makna yang bisa kita kenakan dalam keseharian yang makin terhubung namun terasa sepi.

    Buku ini bukan hanya tentang Riri Satria. Ia juga tentang kita--tentang upaya memahami dunia yang terus berubah, tanpa kehilangan jati diri sebagai manusia yang masih ingin merasa, mencinta, dan mencipta.

    Di antara suara mesin yang mengalun pelan, mari kita dengar detak puisi dalam dada.

    Di antara data yang menyesaki layar, mari kita temukan kembali sunyi yang penuh makna.

    Catatan Seorang Pembaca

    Di tengah riuh dunia digital yang bising dan penuh notifikasi, buku ini hadir seperti jeda yang menyejukkan: sebentuk oase kata di tengah gurun algoritma. Membaca setiap halaman Meretas Pemikiran Riri Satria ibarat membuka jendela ke sebuah semesta baru--di mana puisi dan logika berdampingan, di mana chip dan jiwa berdialog diam-diam.

    Saya tak sekadar membaca gagasan Riri Satria yang ditafsirkan Rissa Churria. Saya mendengarnya--seperti gema lembut yang memantul di lorong batin saya sendiri. Ada detik-detik sunyi saat saya berhenti, menatap langit-langit, dan bertanya: mungkinkah di masa depan, puisi-puisi kita ditulis bersama mesin tanpa kehilangan ruhnya?

    Dan ternyata, jawabannya adalah ya--jika manusianya tetap menjaga rasa.

    Buku ini tidak menawarkan jawaban mutlak. Ia adalah ruang percakapan, tempat ide-ide menari, dan rasa bertumbuh. Saya membayangkan Rissa menulis dengan satu tangan menggenggam imajinasi, dan tangan lainnya menggenggam nalar. Keduanya saling menguatkan, bukan meniadakan.

    Kini, setelah menutup halaman terakhir, saya tak merasa selesai. Justru, saya merasa mulai: mulai berpikir ulang tentang peran manusia, tentang puisi, tentang mesin, dan tentang masa depan yang mungkin lebih manusiawi jika kita mau memahami teknologi--dan memanusiakannya.

    Aku membaca tulisan Rissa Churria ini dengan sepasang mata yang tak asing, karena aku mengenal baik siapa yang sedang dibicarakannya: Riri Satria. Sosok yang berjalan di dua dunia, yang satu dibangun dari angka, rumus, dan algoritma; yang lain dari diksi, nuansa, dan estetika. Di satu sisi, ia dapat menjelaskan fenomena dengan bahasa logika; di sisi lain, ia membaca dunia lewat semiotika dan puisi.

    Maka ketika Rissa menafsirkan pemikiran Riri Satria, aku tak hanya sepakat, tapi merasa sedang mendengar gema yang sama. Dalam tubuh Riri Satria, sains, teknologi, dan seni tidak saling menaklukkan, melainkan saling menghormati dalam batas-batas yang dijaga. Harmoni, dalam dirinya, bukan percampuran, melainkan keberadaan yang tahu kapan harus diam dan kapan menyala.

    Aku tahu benar, Bang Riri Satria takkan pernah menyerahkan puisinya pada mesin. Baginya, puisi bukan sekadar hasil, tapi jalan batin. Ia bisa saja, dengan keahliannya, membuat puisi melalui kecerdasan buatan--ia tahu caranya, menguasai tekniknya, dan bahkan mendidik orang tentangnya. Tapi ia memilih tidak. Karena baginya, puisi adalah getar jiwa, bukan getar mesin.

    Dan itulah yang terus ia bisikkan pada kita: bahwa mengenal algoritma bukan berarti tunduk padanya. Bahwa puisi, jika memang ingin menjadi puisi, harus tetap ditulis dengan tangan manusia yang bergetar. Dengan luka, cinta, dan kesadaran yang tak bisa diduplikasi.

    Terima kasih telah mengizinkan saya menjadi saksi dari pertemuan langka ini: antara puisi yang lembut dan kecerdasan buatan yang dingin. Keduanya, ternyata, bisa saling menghangatkan.

    Terima kasih atas kiriman buku ini semoga catatan yang saya tulis ini memberikan warna dan makna. Dari saya penikmat kata dan pengagum keheningan yang berpikir.

    Dan siapa tahu, di tikungan waktu nanti, ketika manusia dan mesin berjalan berdampingan, puisi akan tetap menjadi cahaya kecil yang menuntun kita pulang.

    Menceng, 5 Juli 2025

    Meretas Pemikiran Riri Satria tentang Puisi dan Kecerdasan Buatan

    Rissa Churria

    Kover dan Atak: Wahyu Bray Iskandar

    Penerbit:

    TARESIA

    Redaksi:

    Jln. Kayu Manis 4/14, Matraman, Jakarta Timur 13130

    ✉ editortaresia@gmail.com | 🌐 www.tsi.my.id | ☎ +62811 1986 73

    Bekerja sama dengan:

    Komunitas Jagat Sastra Milenia, Jakarta

    QRCBN: 62-1599-916-389

    Cetakan Pertama: November 2024

    122 hlm · 14 x 20 cm

    Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan RI bidang Digital, Siber dan Ekonomi | Pakar Teknologi Digital | Pengamat Ekonomi Digital | Komisaris Utama Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS)/Pelindo Solusi Digital (PSD) | Founder dan CEO Value Alignment Advisory (VA2) | Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia | Pendiri Jagat Sastra Milenia & SastraMedia.com | Penyair & Penulis | Pencinta Kopi

    Konten Populer

    • Era digital ini dengan segala kemajuannya seperti kecerdasan buatan, metaverse, bahkan media sosial sederhana pun seperti Facebook ini memiliki potensi dahsyat untuk melakukan rekayasa terhadap persepsi atau perception engineering.   Ya, sekarang eranya post truth society dan dunia penuh dengan yang namanya perseption engineering. Saat ini, perception is the reality, walaupun mereka yang sanggup berpikir […]

      May 27, 2024
    • Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya. Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama […]

      Apr 13, 2024
    •   oleh: Riri Satria Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. Kita memperingatinya saat ini dengan meresmikan Digital Maritime Development Center (DMDC) PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), yang sama-sama kita banggakan. Ini adalah pusat penelitian, pengembangan, dan inovasi solusi digital terintegrasi untuk ekosistem logistik maritim di Indonesia. […]

      May 20, 2024
    • Riri Satria adalah seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 Mei 1970. Sarjana Ilmu Komputer (S. Kom) dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang mengambil Magister Manajemen (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen PPM ini tengah menempuh program S3 Doctor of Business Administration (DBA) di Paris School […]

      Nov 14, 2021
    • Mungkinkah seseorang mengeluti 3 profesi sekaligus secara serius dan sepenuh hati?. Bisa. Inilah yang dilakukan oleh Riri Satria, Sang Polymath Di suatu siang, Riri memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan santai. Berkaos oblong, bercelana jeans serta beralas sandal. Di perjalanan memasuki sebuah ruang sastra, ia bertegur sapa dengan sejumlah seniman yang sedang berkumpul. Tanpa […]

      Jun 06, 2021
    • DOWNLOAD DOKUMEN

      May 17, 2025
    • Menarik memahami makna pendidikan dalam budaya Minangkabau. Orang Minang memiliki banyak tempat belajar untuk hidupnya. “Sejatinya kita belajar dari berbagai tempat, yaitu sakola (sekolah), surau (masjid), galanggang (gelanggang), dan pasa (pasar). Di atas semua itu, kita harus mampu belajar dari semua yang ada di dalam, karena pepatah Minang mengatakan bahwa alam takambang jadi guru,” kata Pakar Teknologi Digital, Riri Satria, saat dihubungi majalahelipsis.com terkait […]

      May 03, 2024
    • Komunitas Jagat Sastra Milenia pada tanggal 10 Oktober 2024 mendatang merayakan Hari Ulang Tahun ke-4. Menyambut hari jadinya itu, Komunitas JSM mengundang penyair-penyair Indonesia mengirim puisi dan karya akan dibukukan. Ketua Komunitas JSM Riri Satria kepada majalahelipsis.com mengatakan, topik antologi puisi itu adalah “Dunia dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) dalam Puisi.” “Tahun 1980, Lembaga Studi Pembangunan […]

      May 03, 2024

    POJOK PODCAST

    KULBIZ SESI 1.3
    By BigThinkersID Host Pinpin Bhaktiar
    Kulbiz adalah tentang kuliah ilmu bisnis secara komprehensif, relevan dan asik 😁🥳🚀🔥
    video
    play-sharp-fill

    Podcast Selengkapnya klik disini...

    RECENT EVENT

    Buku Terbaru Riri Satria

    LOG IN HARAMAIN "Jejak Perjalanan Ibadah Haji"

    TENTANG AGILITY

    Hide picture